REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Maraknya kekerasan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di Arab Saudi, dinilai tidak hanya sebagai sebuah tindakan kekerasan semata. Melainkan melibatkan sebuah jaringan alias mafia dalam pengiriman TKW.
Direktur Riset Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI), Dr Yon Machmudi, menyarankan Pemerintah membentuk satuan tugas mafia tenaga kerja wanita agar lebih serius menyelesaikan masalah yang menimpa pekerja Indonesia di luar negeri.
"Pemerintah harus serius menyelesaikan persoalan ini, karena kasus TKW di luar negeri, khususnya di Arab Saudi, mirip dengan kasus-kasus mafia lainnya. Kalau perlu bentuk Satgas Mafia TKW," tuturnya di Jakarta, Selasa (30/11).
Terkait persoalan tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi, kata Yon, logikanya kalau negara tidak lagi mampu melindungi warga negaranya di luar negeri maka pengiriman TKW ke Arab Saudi harus dihentikan.
Menurut dosen program studi Arab Fakultas Ilmu Budaya UI itu, kasus penganiayaan yang menimpa TKW asal Indonesia seperti Sumiati, Kikim dan lain-lain, merupakan bagian kecil dari persoalan TKW di Timur Tengah, karena apabila digali lebih dalam lagi publik akan kaget dengan kondisi mereka di luar negeri.
"Jangan biarkan diplomat kita disibukkan dengan mengurusi para TKW sehingga tidak optimal menjalankan peran diplomasinya. Salah satu tugas mereka itu mengajak para investor Arab Saudi untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan mempekerjakan para pekerja Indonesia dalam negeri, bukan mengirimkan mereka ke Arab Saudi," katanya.
Yon Machmudi menegaskan, persoalan TKW itu tidak hanya berdampak buruk pada para TKW di Arab Saudi tetapi juga berpengaruh pada merosotnya diplomasi Indonesia di Timur Tengah. "Di kalangan masyarakat Timur Tengah Indonesia lebih dikenal sebagai negerinya kaum pramuwisma padahal dulunya kita dihormati sebagai negeri kaum cendekia," kata dosen muda yang saat ini sedang melakukan penelitian berjudul 'Negeri Kaum Cendekia atau Pramuwisma ? Mukimin Indonesia di Arab Saudi dan Strategi Menguatkan Diplomasi di Timur Tengah' ini.
Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar di dunia, lanjut dia, saat ini tidak mampu berperan optimal dalam diplomasi internasional di kawasan Timur Tengah dan dunia Islam. "Itu karena persepsi mereka tentang Indonesia masih rendah. Bagaimana mungkin negara yang membiarkan warga negaranya dilecehkan di luar negeri dapat berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan internasional. Makanya, tanpa penghentian sementara (moratorium) pengiriman TKW ke Arab Saudi, citra Indonesia di Timur Tengah akan semakin buruk," ujarnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, kata Yon, untuk mempekerjakan seorang TKW Indonesia, seorang kafil (tuan rumah) di Arab Saudi harus membayar 6.000 riyal (sekitar Rp 15 juta) kepada agen resmi di Arab Saudi. Biaya sebesar itu hanya sekitar 600 riyal yang diberikan kepada agen Arab Saudi dan sisanya 5.400 riyal dipakai agen Indonesia untuk mencari dan mengirimkan para pekerja domestik yang rata-rata berasal dari pelosok desa.
"Tentu bisnis ini sangat menggiurkan. Para mafia dan oknum pemerintah 'bermandi' riyal sementara para TKW kita bermandi keringat dan air mata, bahkan tidak sedikit yang harus meregang nyawa," ujarnya. Karena itu, kata Yon Machmudi, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas terhadap persoalan pengiriman TKW ke Arab Saudi.