Jumat 19 Nov 2010 07:00 WIB

Suap-Menyuap tak Melulu Ekonomi

ilustrasi
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG--Psikolog Universitas Diponegoro Semarang, Hastaning Sakti, menilai tindakan suap-menyuap yang sudah sedemikian membudaya di Indonesia tidak selalu berkorelasi langsung dengan faktor ekonomi. "Faktor ekonomi memang menjadi penyebab makro, ujung-ujungnya disebabkan desakan ekonomi seiring kebutuhan hidup yang semakin besar. Namun, penyebab langsungnya bukan itu," katanya di Semarang, Kamis (18/11).

Menurut dia, himpitan ekonomi di tengah kebutuhan hidup yang semakin besar memang menjadi alasan manusia untuk melakukan segala cara, meski bertentangan dengan nilai kebaikan, kebenaran, dan kejujuran. Akan tetapi, kata dia, tindakan suap-menyuap merupakan buah dari kondisi kehidupan manusia yang cenderung berubah serba instan sehingga membuat segalanya harus bisa didapatkan dengan cara yang mudah.

Ia mencontohkan kondisi kehidupan masyarakat dulu yang sangat mementingkan proses, misalnya dalam memasak nasi yang harus memerhatikan berbagai hal, mulai dari takaran air dan sebagainya. "Itu hanya untuk makan nasi, susahnya bukan main. Sekarang kan tidak lagi, sudah banyak makanan instan, seperti mi dan sebagainya yang begitu mudah dimasak tanpa harus bersusah payah," katanya.

Dulu, kata dia, belum ada susu formula untuk bayi yang membuat seorang ibu harus menyusui anaknya dengan air susu ibu (ASI), sekarang kondisinya berubah sehingga banyak ibu-ibu malas menyusui bayinya. "Kondisi serba instan seperti ini secara tidak langsung mengubah pandangan masyarakat dan melunturkan nilai-nilai luhur yang selama ini dimiliki bangsa Indonesia menjadi menggampangkan segala hal," katanya.

Demikian halnya dengan membudayanya suap-menyuap dan korupsi, lanjutnya, hal itu diakibatkan masyarakat ingin gampang dalam mencari uang, meski harus melanggar nilai kejujuran, kebenaran, dan kebaikan. "Kalau mental dan karakter seseorang terbentuk baik sebagai buah pendidikan yang ditanamkan, baik dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, himpitan ekonomi tak mudah membuatnya berbuat menyimpang," katanya.

Karena itu, kata dia, membudayanya suap-menyuap dan korupsi harus dilihat dari mental dan karakter yang dimiliki setiap orang, sejauh mana pola pendidikan dalam keluarga dan sekolah membentuk kepribadiannya. "Kalau dalam keluarga selalu dibiasakan dan diajarkan bersikap jujur, tentunya akan menghasilkan pribadi yang baik. Namun, kondisinya akan lain jika lingkungan keluarga tidak pernah memercayai si anak," katanya.

Pola pendidikan yang paling menentukan dalam pembentukan karakter adalah keluarga dan sekolah, lanjut Hastaning, sehingga perlu dibenahi dengan penanaman, pembelajaran, dan pembiasaan budi pekerti yang luhur. "Sekarang memang sudah banyak terjadi penyimpangan dan terlambat, namun menurut saya lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Citra bangsa Indonesia harus dibenahi secara lebih baik," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement