REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Wacana untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kota Jakarta sudah berlangsung lama. Pemikiran tersebut tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi Jakarta yang dinilai sudah melebihi batas kemampuan daya dukungnya.
Kota Jakarta dianggap sudah terlalu banyak menopang beban dari berbagai fungsi, seperti fungsi pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pendidikan, budaya, dan wisata. Lalu, wacana pembentukkan megapolitan pun tercetus meski hal tersebut timbul dan tenggelam.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto mengajak semua pihak mengkaji kembali usulan pemindahan tersebut. “Coba dikaji dulu, efektif mana, murah mana, pemindahan Ibukota atau penataan kawasan Jabodetabek?," ujarnya saat ditemui pada Seminar Dampak, Peluang, Tantangan, Harapan Perpindahan Pusat Pemerintahan di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Barat, Jakarta Barat, Kamis (18/11)
Di sisi lain, lanjutnya, pemindahan Ibu Kota juga perlu membangunan infrastruktur seperti gedung, jalan, rel kereta api, dan lainnya di tempat yang baru. “Dipindah ke mana juga belum jelas, ke luar Jawa atau masih dekat Jakarta. Ketika dekat Jakarta masih ada opsi lagi, Karawang atau Jonggol?,” katanya.
Menurut Prijanto, Jakarta masih mempunyai pilihan untuk ditata. Apalagi, penataan Jakarta sesuai dengan amanat Presiden SBY beberapa waktu lalu saat menanggapi usulan pemindahan Ibu Kota dari Jakarta. Saat itu SBY mengusulkan tiga pilihan antara lain, hanya pusat pemerintahan saja yang di pindah dari Jakarta, memindahkan Ibu Kota dari Jakarta, atau menata kembali Jakarta agar tetap layak jadi Ibu Kota Negara.
"Artinya Pak Presiden juga memberi opsi agar dilakukan penataan. Tapi semua itu perlu dilakukan kajian dulu, efektif mana, efisien mana, murah mana," katanya.
Kalaupun terjadi pemindahan, kata Prijanto, penataan dan pembangunan kota Jakarta tetap tak mungkin ditinggalkan. Kebutuhan ruang, waktu, dana, dan regulasi untuk percepatan penataan dan pembangunan masih diperlukan. Maka yang diperlukan adalah kesamaan visi dan misi antara Pemprov dan pemerintah pusat.
Prijanto menilai, ada tidaknya satu visi pembangunan dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, sampai sejauh mana pendayagunaan anggaran dalam pembangunan. Apakah program-program dalam APBD benar-benar tertuju untuk penyelesaian permasalahan tata kota dan social budaya?
Kedua, sampai sejauh mana pemerintah pusat memberikan dukungan dana, memberikan aturan-aturan sebagai payung hukum secara cepat dan tepat demi terlaksananya pembangunan di DKI Jakarta dan di kota-kota sekitarnya.
Ketiga, sampai sejauh mana pemerintah pusat mengalokasikan dana dan melaksanakan pembangunan yang menjadi kewenangan dan tanggung jawabnya.