REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan bencana alam, Andi Arief, mengatakan, pemerintah belum cukup baik melakukan penanganan bencana di masa tanggap darurat. Mengambil contoh bencana gempa dan tsunami di Mentawai, Andi melanjutkan, masyarakat Mentawai praktis tidak menerima bantuan sama sekali pada 12 jam pertama pasca kejadian. “Ini kelalaian,” ujarnya, dalam sebuah diskusi bertema Bencana dan Duka Indonesia di Jakarta, Sabtu (30/10).
Sebenarnya, kata Andi, di jam-jam awal tsunami, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat sudah melaporkan kebutuhan helikopter untuk memberikan bantuan ke wilayah Mentawai. Namun lemahnya koordinasi menyebabkan pengerahan bantuan dari TNI, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan polisi baru bisa masuk ke Mentawai 24 jam setelah bencana. “Padahal helikopter banyak.”
Andi pun menyatakan jika Indonesia harus banyak belajar dari sejumlah negara untuk memperbaiki manajemen penanganan bencana. Jepang, Cili, Turki, dan Filipina dinilai Andi sebagai negara-negara yang memiliki manajemen penanganan bencana lebih baik dari Indonesia.
“Jepang kuat dalam hal investasi riset dan pendekatan ilmu pengetahuan untuk mitigasi bencana, Cili kuat dalam hal tata ruang dengan melarang keras pembangunan di daerah patahan gempa, kemudian Turki sangat konsentrasi mikro zonasi dan penelitian lapisan tanahnya,” tandas Andi.
Namun demikian, Andi melanjutkan, penanganan bencana di masa tanggap darurat dengan klasifikasi bencana terduga seperti letusan gunung berapi, relatif lebih baik. “Semua ini ke depan akan diperbaiki.”
Dia menyatakan, kurang optimalnya penanganan masa tanggap darurat disebabkan sejumlah faktor, mulai dari koordinasi antar pejabat terkait, lokasi bencana yang sulit dijangkau, serta kesimpangsiuran informasi dan data. Umumnya, berbagai faktor penyebab tersebut baru teratasi setelah sepekan bencana terjadi. “Seminggu setelah bencana, barulah semuanya membaik.”