REPUBLIKA.CO.ID, KLATEN--Kondisi warga dari Kawasan Rawan Bencana (KRB) III Klaten yang mengungsi di lapangan Desa Keputran, Kecamatan Kemalang, Klaten masih memprihatinkan. Minimnya fasilitas di lokasi pengungsian, membuat pengungsi terpaksa berebut logistik.
Marwoto (80), warga Dusun Deles, Desa Sidorejo mengaku harus rebutan tikar dengan pengungsi yang lain. Hal ini membuat dirinya harus berdebat dengan petugas di pengungsian. “Kalau mau pakai tikar ya cepet-cepetan dengan pengungsi yang lain, “ ujarnya, Kamis (26/10).
Dia juga mengeluhkan petugas yang tidak segera membagikan logistik bagi para pengungsi. Bahkan, masih minimnya logistik menimbulkan kecemburuan sosial di antara pengungsi. “Ada warga yang meminta alat mandi tidak dikasih, tapi yang lain dikasih," ujarnya.
Selain itu, pengungsi juga mengeluhkan kualitas makanan. Selama tiga hari di lokasi pengungsian, warga menilai nasi yang dibagikan keras dan bau. Nasi yang keras tersebut cukup menyulitkan untuk dikonsumsi bagi pengungsi yang sudah lanjut usia. Seperti Marwoto, yang mengaku selain keras, berasnya juga bau apek.
Selain itu, dia juga mengaku terpaksa harus membeli makan di warung lantaran waktu pembagian makan tidak menentu. “Tidak ada yang kasih tahu kalau makanan sudah ada, jadi sudah beli sendiri. Jam setengah dua siang, baru disuruh makan, “ ujarnya.
Terkait logistik di pengungsian, Kabag Perekonomian Setda Pemkab Klaten, Sri Sumanto mengakui memang masih kekurangan. Kebutuhan seperti perlengkapan mandi, pakaian dalam wanita masih kurang.
Dia juga mengaku pihaknya kekurangan petugas untuk memasak di lapangan. Dari sekitar 100 petugas, harus melayani makanan untuk sekitar 6.000 pengungsi. Petugas tersebut juga harus dibagi di tiga titik lokasi pengungsian yakni Desa Dompol, Keputran, dan Bawukan. “Petugas terbatas, tidak bisa melayani pengungsi dengan cepat, “ ujarnya.