REPUBLIKA.CO.ID, SOLO--Konsumsi terhadap makanan sehat di Indonesia dinilai masih sangat rendah. Hanya sekitar 10 persen penduduk Indonesia yang mengonsumsi makanan sehat.
Demikian diungkapkan Budi Hastanti Pancarini, koordinator lapangan wilayah Jawa Vredesailanden country office (VECO) dalam Peringatan Hari Ketahanan Pangan Sedunia di Balaikota Solo, Selasa (19/10). Lantaran hal itu, LSM yang berkonsentrasi dengan program pertanian berkelanjutan tersebut mengkampanyekan pangan sehat. “Kampanye pangan sehat ini merupakan proses pembelajaran masyarakat apa saja yang termasuk dalam kategori makanan sehat,“ ujarnya.
Pangan sehat, jelas Budi, merupakan makanan yang aman dikonsumsi yakni tidak tercemari unsur-unsur kimia dan logam berat yang membahayakan tubuh. Selain itu, makanan tersebut tidak mendapat zat tambahan yang dapat mengganggu kesehatan. “Makanan itu tidak mengandung zat pewarna dan perasa buatan seperti MSG (Monosodium Glutamat),“ jelasnya.
Diakui Budi, mengkampanyekan sadar pangan sehat tersebut bukan hal yang mudah. Pasalnya, masyarakat sedang dibanjiri promosi makanan yang serba instan yang cenderung tidak sehat dan aman dikonsumsi. “Karena itu, kami lakukan upaya secara bertahap dan saat ini konsentrasi dulu untuk penyadaran terhadap pangan sehat, “ ujarnya.
Dalam kampanye tersebut, pihaknya menyasar dua sektor yakni pertanian dan konsumen. Pada pertanian, Budi melanjutkan, akan ada kampanye agar para petani menghasilkan produk yang sehat seperti dengan pertanian organik. Sementara untuk konsumen, pihaknya mengkampanyekan penyadaran agar mengkonsumsi pangan sehat.
Untuk mengembangkan produk pangan yang sehat, VECO bekerjasama dengan Lembaga Studi Kemasyarakatan Bina Bakat Solo (LSKBB) dalam menjalankan program pertanian organik di Boyolali. Suswadi dari LSBKK mengatakan pihaknya membina petani untuk mengembangkan pertanian tersebut. “Kami kembangkan sistem pertanian sehat dengan mengontrol penggunaan pestisida dan kembangkan pupuk organik. Kami juga lakukan uji lab untuk melihat kandungan dalam air yang dipakai untuk pertanian,“ ungkapnya.
Diakui Budi, produksi petani dapat menurun sekitar 40 persen dengan pertanian organik tersebut. Akan tetapi, diungkapkannya, hal itu hanya terjadi pada tahap awal pengabdosian pertanian organik. “Kalau sudah dua tahun atau empat kali musim tanam, produksi pertanian akan mulai stabil. Kalau sudah begitu setiap hektar lahan dapat menghasilkan 5 hingga 6 ton gabah,“ jelasnya.