REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pembatalan lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda beberapa waktu lalu, seharusnya menjadi shock therapy bagi Belanda. Jika tidak ditanggapi secara serius, dikhawatirkan dapat merusak hubungan politik kedua negara.
"Ini bisa menjadi shock therapy bagi Belanda. Ini hal yang serius," ujar Pengamat Hubungan Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, di Jakarta, Kamis (07/10).
Menurutnya, sikap SBY yang membatalkan kunjungan ke Belanda pada saat sudah berada di pesawat merupakan bentuk ketersinggungan. Bukan sebuah bentuk ketakutan terhadap aksi beberapa orang dari Republik Maluku Selatan (RMS) yang mengajukan gugatan ke pengadilan Belanda.
Sebagai simbol negara, wajar jika seorang presiden tersinggung terhadap sikap Belanda yang masih membuka ruang bagi gerakan sparatis Indonesia. Mereka seharusnya lebih bijaksana dalam menganggap bahwa gerakan RMS yang ingin merdeka dari Indonesia itu adalah hak sebagai warga. "Jangan anggap ini isu tidak penting bagi Indonesia" kata Dewi.
Bagi negara yang sedang mengkokohkan diri seperti Indonesia, ancaman speratisme adalah hal yang sangat serius. Tetapi gerakan itu justru mendapatkan ruang di Negeri Kincir Angin itu. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bisa menganggu hubungan bilateral Indonesia dan Belanda. "Belanda tidak boleh lepas tangan soal ini," ujar Dewi.