Selasa 28 Sep 2010 03:02 WIB

Kenali Pencetus Kekerasan pada Anak dan Menghindarinya, Yuk!

Rep: c29/ Red: Siwi Tri Puji B
Anak kecil yang mengalami kekerasan kerap trauma/ilustrasi.
Anak kecil yang mengalami kekerasan kerap trauma/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Modus kekerasan terhadap anak di Indonesia dikategorikan tersadis. Pelaku tega menyeterika, menyirami dengan air panas, bahkan membakar hidup-hidup. Data Komnas Perlindungan Anak, sejak Januari hingga September 2010 sejumlah 2.044 kasus kekerasan terhadap anak terjadi.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, di kantornya, Senin (27/9) menyatakan, kekerasan terjadi karena berbagai alasan, antara lain himpitan ekonomi. Dia mengatakan himpitan ekonomi mengakibatkan depresi. "Anak menjadi korban karena paling tidak berdaya di dalam sebuah komunitas keluarga," ungkapnya.

Budaya patriarkhal juga menjadi faktor penyebab kekerasan seksual. Dominasi pria yang tidak bisa diajak bermusyawarah bersama istri, atau bahkan menganiaya sang istri. Anak kemudian menjadi korban penganiayaan. "Anak menjadi korban pelampiasan amarah sang istri," terang Arist.

Lingkungan yang kurang berpendidikan juga menjadi pemicu kekerasan kerap terjadi. Omongan kotor dan pemukulan anak kerap terjadi karena dianggap memberikan efek jera. "Tetapi ternyata berlebihan hingga mengakibatkan anak mengalami luka penganiayaan," tuturnya.

Dia mengatakan 70 persen pelakunya adalah ibu, baik itu ibu kandung, ibu tiri, ibu asuh, atau ibu guru di sekolah. Ibu yang kerap dipanggil mami dalam dunia prostitusi juga menjadi pelaku kekerasan anak. Mereka tega membiarkan anak menjadi budak seks pria hidung belang. Orang-orang dekat korban seperti paman, bibi, sepupu, dan keluarga secara umum juga kerap menjadi pelaku.

Arist mengatakan masyarakat harus lebih peduli anak. "Mereka itu masa depan bangsa ini. Jangan dirusak," paparnya. Ditambahkannya, orang tua berperan paling penting membina anak. Jika ada masalah pribadi, tuturnya, jangan kemudian anak dijadikan pelampiasan. Arist mengatakan anak-anak tidak bersalah apa-apa. Mereka masih bersih suci seperti kertas putih yang belum ditulis dengan tinta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement