REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Keputusan menteri agama (KMA) tentang zakat dinilai belum mampu mengoptimalkan pengelolaan zakat. Oleh karena itu, menurut Anggota Komisi VIII DPR-RI dari Fraksi Partai Keadailan Sejahtera (PKS), Iskan Qolba, diperlukan peraturan pemerintah (PP) yang secara khusus mengatur tata kelola zakat.
Sebab, saat ini terkesan terjadi persaingan tak sehat antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ).”Pemicunya belum jelas peran dan fungsi masing-masing termasuk regulasinya,”ujar dia kepada Republika di Jakarta, Ahad (5/9)
Iskan melanjutkan, regulasi inilah yang menjadi bahasan penting dalam Rancangan Undang-undang (RUU) revisi UU Pengelolaan Zakat No 38 Tahun 1999. Dalam RUU tersebut nantinya pengelolaan zakat diatur lebih sistematis. Termasuk membedakan lembaga manakah yang berfungsi sebagai regulator dan operator. Peran regulator idealnya dijalankan oleh pemerintah dan operator adalah organisasi pengelola zakat. Sebab, keberadaan organisasi zakat di Indonesia sudah eksis lama di Indonesia.
Selain regulasi zakat, imbuh dia, RUU akan diarahkan agar dapat menempatkan zakat sebagai pengurang pajak. Iskan berpandangan, pendapatan pajak negara tidak akan berkurang. Apalagi, 70 persen pemberi pajak adalah perusahaan besar. Sedangkan di Indonesia rata-rata muzakki adalah individu masyarakat. Malah, keberadaan zakat sebagai pengurang pajak justru membantu meningkatkan pendapatan pajak negara.
Ke depan, perlu ada standarisasi dan pengawasan. Sehingga potensi zakat yang mencapai 20 triliun pertahun dapat dioptimalkan. Tak hanya itu, dengan keberadaan RUU diharapkan LAZ dan BAZ lebih profesional dan mampu bergerak baik di level nasional ataupun internasional.
Bukan mustahil, RUU nanti juga mengatur kerjasama dan sinergi antara organisasi pengelola zakat dengan Corporote Sosial Responsiblity (CSR) perusahaan. Mengingat, dana CSR seperti BUMN cukup besar menembus angka sekitar 500 milyar pertahun.”Mudah-mudahan akhir tahun ini RUU bisa segera disahkan apalagi sudah dibentuk panja khusus,”harap dia.