REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kriminolog Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar mengatakan, mekanisme pendataan senjata api di kalangan militer maupun sipil masih memiliki banyak kelemahan. Hal inilah yang menjadi awal terjadinya tindakan kejahatan menggunakan senjata api, seperti yang terjadi di Medan beberapa hari lalu.
Yesmil menilai, pendataan yang lemah itu akibat dari belum optimalnya pelaksanaan undang-undang tentang kepemilikan senjata api. Dia mengatakan, tidak menutup kemungkinan juga senjata api yang digunakan dalam aksi kriminal itu merupakan sisa dari konflik-konflik bersenjata di daerah, seperti di Aceh dan Poso.
"Di sinilah pentingnya pendataan senjata api, khususnya di kalangan militer dan polisi," kata Yesmi tegas. Dia yakin aturan tentang penggunaan senjata api di internal TNI/Polri sudah ketat, namun pelaksanaan aturan itu harus maksimalkan. Menurut Yesmil, setiap pucuk senjata api di tubuh TNI/Polri harus jelas penggunanya.
Yesmil menilai tidak menutup kemungkinan bahwa para pelaku perampokan bank di Medan ini merupakan residivis. "Di dalam penjara itu terkadang ada proses belajar dan bertukar pengalaman antara sesama penghuni," kata dia. Hal itu terlihat dari aksi kejahatan yang tampak rapi.
Dari sudut pandang kriminologi, perampokan bersenjata ini merupakan sebuah siklus yang telah dimulai lama, bahkan pada masa sebelum kemerdekaan. "Benang merahnya sama," kata Yesmil. Kejahatan itu muncul sebenarnya berakar dari masyarakat sendiri. Aksi perampokan berubah seiring dengan pola penegakan hukum yang terus berkembang juga.