REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Pakar hukum Universitas Gadjah Mada, M Fajrul Falaakh, mengatakan, grasi dan remisi terhadap para terpidana tindak pidana korupsi dapat menurunkan semangat pemberantasan korupsi. Meski grasi dan remisi itu memenuhi syarat secara administrasi, namun pelaksanaannya akan mengganggu efektivitas pemidanaan bagi para koruptor.
"Ini menurunkan semangat pemberantasan korupsi," kata Fajrul, ketika dihubungi, Sabtu (21/8). Dia mengatakan, grasi dan remisi itu menunjukkan bahwa masa tahanan bagi para koruptor itu sangat dimungkinkan dikurangi atau dihapus secara teknis dengan cara-cara tertentu. Hal itu tidak memberikan efek jera bagi koruptor.
Fajrul menilai sulit untuk membendung pemberian grasi dan remisi karena itu menjadi kewenangan presiden dan pemerintah. Dia lebih memilih untuk meningkatkan efektivitas pemidanaan kepada koruptor. "Harus jadi pemikiran dan badan diskusi bersama agar setiap koruptor bisa mendapat vonis maksimal dari hakim," kata dia.
Menurut Fajrul, saat ini banyak koruptor divonis ringan hanya beberapa tahun saja, tidak diberikan vonis maksimal. "Masih ada yang divonis dua tahun, padahal vonis maksimalnya 20 tahun," ujar Fajrul. Melalui peningkatan vonis itu diharapkan para koruptor bisa menjalani masa tahanan lebih lama dan tidak mudah mendapat grasi atau remisi.