REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Empat petani menggugat Undang-undang (UU) nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan karena dinilai membuka ruang bagi perusahaan perkebunan untuk mengeksploitasi lahan rakyat secara besar-besaran. Keempat pemohon, yakni Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin meminta Mahkamah Konstitusi menghapus pasal 21 dan 47 dari Undang-undang tersebut.
Kuasa hukum pemohon, Wahyu Wagiman, seusai menyerahkan berkas permohonan uji materi kepada panitera di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Jumat (20/8), mengatakan UU tersebut juga dapat memidanakan yang kebanyakan petani yang memperjuangkan hak-haknya. "Karena tidak ada pengaturan luas maksimum dan minimum tanah untuk lahan perkebunan, yang menimbulkan adanya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan oleh perusahaan," katanya.
Pasal 21 melarang orang mengganggu usaha perkebunan, sedangkan pasal 47 menentukan pelanggar pasal 21 diancam pidana maksimal lima tahun penjara dan denda Rp5 miliar. Menurut Wahyu, dengan bekal hak guna usaha, perusahaan kerap menggusur masyarakat adat atau petani di sekitar lahan perkebunan. Akibatnya, masyarakat adat dan petani itu tak lagi bisa mengakses tanah yang telah turun temurun mereka kuasai, atau bahkan kehilangan lahannya.
Dia juga mengatakan, Undang-undang Perkebunan ini juga memberi ancaman pidana bagi pelanggar beleid tersebut. Masalahnya, rumusan larangannya tidak jelas dan terperinci, sehingga berpeluang disalahgunakan untuk mempidanakan petani.
"Bahkan menginjak rumput perusahaan saja, petani bisa dipidana lima tahun penjara," katanya.
Salah satu pemohon, Vitalis Andi, masyarakat adat Silat Hulu Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, adalah salah satu korbannya. Gara-gara melakukan aksi damai terkait sengketa tanah, ia dijadikan terdakwa lantaran perusahaan yang didemonya tersebut menyatakan bahwa aksinya menghambat usaha perkebunan.
Buruknya integritas penegak hukum, kata Wahyu, memperparah situasi, karena mereka seolah memfasilitasi perusahaan untuk menyeret petani ke jalur pidana. Pada enam bulan pertama 2010, sedikitnya ada 106 kasus kriminalisasi petani di Indonesia.
Adapun jumlah sengketa tanah antara perusahaan perkebunan dan petani atau masyarakat adat terus meningkat dari tahun ke tahun. Data dari lembaga swadaya masyarakat Sawit Watch menunjukkan ada 514 kasus di 2007, 576 kasus pada 2008, dan 604 kasus pada 2009.
Pada semester pertama tahun ini saja tercatat telah ada 608 kasus. Konflik ini melibatkan sejumlah grup perusahaan besar seperti PTPN, PT Bakrie Plantation, PT Lonsum, Wilmar Group, Sinar Mas Group, Raja Garuda Mas, dan Salim Group.