REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Muhammadiyah meminta pemerintah untuk tidak memberikan grasi atau remisi yang berlebihan. Apalagi, pemberian remisi atau grasi kepada para terpidana korupsi. Demikian dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin usai bertemu dengan Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres, Jumat (20/8).
“Ya memang remisi itu hak negara termasuk juga pemberian grasi maka oleh karena itu kita bisa memaklumi (pemberiannya) terhadap siapa pun,” kata dia. Maksudnya adalah pemberian hak tersebut baik terhadap terpidana korupsi walaupun terpidana kasus lainnya.
Namun demikian, diakuinya, khusus untuk terpidana korupsi memang ada kepekaan tersendiri dari masyarakat. Karena, kata dia, rakyat menganggap korupsi merupakan kejahatan terhadap negara dan bahkan termasuk kejahatan terhadap rakyat. Maka, lanjut dia, persepsi dan suasana kebatinan rakyat seperti itulah yang seyogyanya dipertimbangkan oleh pemerintah, untuk tidak memberikan grasi atau remisi yang berlebihan. “Meskipun saya juga tidak tahu ukuran berlebihannya itu sendiri,” kata Din.
Meskipun menyatakan ketidaksetujuaannya, sekali lagi Din menekankan bahwa pemberian remisi maupun grasi adalah hak pemerintah. Hanya, dirinya menyarankan agar pemerintah agak berhati-hati untuk sedikit menyantuni kepekaan atau sensitifitas dari rakyat. Ia juga meminta agar pemerintah lebih sensitif terhadap penderitaan rakyat, sehingga jangan sekali-sekali menyinggung apalagi mengusik rasa keadilan.
Seperti diketahui, dalam memperingati hari kemerdekaan RI, Presiden lewat Kemenkum HAM memberikan remisi kepada 58.400 narapidana di seluruh Indonesia. Sebanyak 341 Orang dari 778 terpidana korupsi juga keciptaran remisi itu. Mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan yang mendapat remisi 3 bulan. Selain itu Presiden juga memberikan grasi 3 tahun kepada terpidana korupsi mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Syaukani HR.
Syaukani langsung bebas dari bui sejak Rabu (18/8) setelah hukumannya dikurangi dari enam tahun menjadi tiga tahun lewat grasi yang tertuang dalam Keppres Nomor 7/G Tahun 2010, tertanggal 15 Agustus 2010. Syaukani divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Desember 2007. Ia terbukti bersalah atas empat kasus korupsi sekaligus dengan kerugian negara Rp120 miliar.