Selasa 17 Aug 2010 00:43 WIB

Bambang Soesatyo: Pidato Presiden Hanya Janji tak Realistis

Rep: Antara/ Red: Budi Raharjo
Bambang Soesatyo
Foto: Tahta/Republika
Bambang Soesatyo

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan sidang Parpurna bersama DPR dan DPD dinilai tidak berbeda jauh dengan pidato kenegaraan tahun lalu. Pidato itu dikritik karena hanya memuat janji yang tak realistis.

Anggota Komisi III DPR, Bambang Soesatyo, menilai pidato itu monoton karena tidak menawarkan solusi untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi saat ini, terutama menyangkut merosotnya kualitas kesejahteraan rakyat. ''Saya melihat pidato itu mirip dengan kampanye,'' kritiknya di Jakarta, Senin (16/8).

Menurut anggota Fraksi Partai Golkar ini, target-target strategis dari reformasi gelombang kedua yang dipaparkan dalam pidato kenegaraan itu sangat sulit diwujudkan. Alasannya, Presiden tidak mempunyai strategi untuk mewujudkan target-target itu. ''Katakanlah kalau Presiden punya stratategi, maka strategi itu tidak diimplementasikan dengan konsisten,'' ujarnya.

Idealnya, lanjut anggota Badan Anggaran DPR ini, upaya mewujudkan semua target reformasi gelombang kedua itu termuat dan tercerminkan dalam semua kebijakan dan langkah pemerintahan saat ini. Nyatanya, dia merasa arah reformasi dan pembangunan nasional tidak jelas karena ketiadaan strategi. ''Itu sebabnya saya menilai pidato SBY tak lebih dari janji yang sangat tidak realistis. Simaklah, ketika memaparkan target itu, Presiden berulangkali menggunakan ungkapan 'masih harus' ini-itu,'' kritiknya lagi.

Bambang mencontohkan, aspek kesejahteraan bagi 237,6 juta jiwa rakyat Indonesia yang menjadi pilar pertama dari target itu.  Untuk itu, hingga 2014, pemerintahan SBY mengalokasi Rp 20-100 triliun per tahun dan kredit untuk rakyat serta membuka 10,7 juta lapangan kerja baru. ''Apa strategi SBY untuk mewujudkan target ini? Menurut saya tidak ada,'' ujarnya.

''Rakyat tak akan mau menyerap kredit yang disediakan jika suku bunga masih sangat tinggi seperti sekarang. Menciptakan lapangan kerja pun sangat sulit jika SBY tidak segera mengubah kebijakan tentang biaya produksi di dalam negeri,'' jelasnya. ''Sulit mengharapkan hadirnya investasi baru jika biaya produksi di dalam negeri sangat mahal seperti sekarang. Belum lagi masalah minimnya infrastruktur.''

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement