REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Penahanan anak yang berhadapan dengan hukum dinilai tidak cocok. Rehabilitasi terhadap anak lebih efektif jika dilakukan di dalam lingkup keluarga.
"Keluar dari penjara anak malah tambah pintar, pintar mencuri, pintar mencopet, dan lain-lain," ujar Ki Ageng Wibisono, Ketua PP Muhammadiyah di Jakarta, Jumat (6/8). Dengan pengawasan keluarga, anak diharapkan dapat memperbaiki sikapnya.
Sekretaris Forum Perlindungan Anak dan Lansia Muhammadiyah-Aisyiyah (FORPAMA), M Ihsan mengatakan, penjara bukan tempat yang tepat bagi anak-anak. Bahkan salah seorang anak yang ditahan di Lapas Tangerang mengaku pada Ihsan bahwa dirinya lebih baik kelaparan daripada di penjara. Padahal lapas tempat anak itu bernaung adalah lapas anak yang notabene lebih ramah terhadap anak.
Penetapan usia anak yang boleh ditahan pun menjadi pertanyaannya. Menurut UU No 3/1997, anak berusia 12 tahun boleh ditahan. Padahal menurut UU No 23/2002 tentang perlindungan anak, definisi anak adalah mereka yang berada di bawah usia 18 tahun.
Mengenai adanya RUU Sistem Peradilan Anak, Ihsan melihat tak banyak perubahan. Terdapat upaya-upaya untuk merampas hak kebebasan anak. "Hanya istilahnya saja yang berbeda, kalau dulu penjara atau kurungan, kini memakai kata lembaga," ujarnya.
Ihsan berharap, kurungan kepada anak harus benar-benar dihapuskan. Hukuman terhadap anak dapat berupa kerja sosial atau dikembalikan kepada keluarga. Kerja sosial, lanjutnya, telah diterapkan di Malaysia. Kesehariannya, anak tetap tinggal bersama keluarga.
Sementara itu, Wakil Ketua Tim RUU Sistem Peradilan Anak, Suhariyono mengatakan, UU No 3/1997 memang tidak cocok dengan kondisi saat ini. "Istilah anak nakal harus dihapuskan," ujarnya. Istilah tersebut dapat mengarah stigma buruk masyarakat terhadap anak.
RUU tersebut kini telah disampaikannya kepada Presiden SBY. Dengan pengkajian selama kurang lebih empat tahun, Suhariyono berharap RUU tersebut dapat memenuhi keinginan masyarakat.