Jumat 30 Jul 2010 21:21 WIB

Tamparan, Jambakan, Pukulan yang Akrab dengan Para TKI di Hongkong

Rep: pipit senja, dari hongkong/ Red: irf
Para TKI di Hongkong
Foto: Dompet Dhuafa
Para TKI di Hongkong

REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG--"Saya sudah tak tahan lagi, dipekerjakan sebagai loper koran dan majalah. Ini menyalahi kontrak dan melanggar aturan, hukum yang berlaku di Hong Kong. Kalau ketahuan polisi Hong Kong saya sendiri bisa kena dan dihukum. Jadi, begitu tahu hal ini melanggar hukum, ya, saya pergi dari rumah majikan," tutur Yuni (23), gadis asal Malang yang kini terpaksa harus tinggal di shelter FKPMU, salah satu penampungan bagi para nakerwan yang tertimpa masalah yang sering dibantu oleh Dompet Dhuafa Hong Kong.

Selama hampir dua tahun kontrak pertama (sekarang tinggal tujuh bulan lagi), Yuni dipekerjakan bukan sebagai pembantu rumah tangga, melainkan tukang antar koran dan majalah di kawasan Causeway Bay, Hong Kong. Dia melakukan pekerjaannya itu nyaris tanpa jeda dengan berjalan kaki, mulai pukul empat subuh hingga petang hari. Malam pun Yuni sibuk mengepak barang, menyortir koran atau majalah yang sudah dan akan diedarkan keesokan harinya.

Yuni tidak sendirian, ternyata banyak juga TKW Indonesia yang sedang tertimpa masalah, dan mereka tinggal di shelter-shelter. Ada tujuh shelter yang pembinaan dan pendampingannya dilakukan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong dalam hal men cari solusi kasus mereka, terutama terkait dengan finansial yakni; shelter Al-Istiqomah, Cristian Action, FKMPU, Islamic Union, Jordan, Kotkiho, shelter Iqro, dan shelter Berkah di kawasan Haven Street.

"Saya meninggalkan rumah majikan, karena underpay dan sering disiksa majikan perempuan," aku Rasmi (30), kontrak pertama telah dijalani, memasuki kontrak kedua baru lima bulan. "Saya menerima gaji 2100 dolar HK, tapi harus menandatangani kuitansi total gaji 3580 dolar HK, standar gaji BMI Hong Kong," lanjutnya pula, ketika kami bertemu di shelter Iqro pada kesempatan taklim Bidadari Fajar, kegiatan subuh yang diselenggarakan rutin oleh Dompet Dhuafa Hong Kong. Majikan suka menyuruh Rasmi mencuci mobil tengah malam bahkan pukul dua dinihari.

Penderitaan Rasmi terus berlanjut, karena majikan perempuan hobi sekali menganiaya. Tamparan, jambakan, pukulan, dan tendangan merupakan menu sehari-hari buat ibu dua anak yang nekat mengais rezeki di negeri beton ini, demi mengubah nasib keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah.

"Saya tahu Dompet Dhuafa HK dari seorang teman yang saya temui di halaqoh Wanchai. Saya memutuskan meninggalkan rumah majikan, dan tinggal di shelter Iqro. Kasus saya baru sampai tahap meeting kemarin," tutur Rasmi dengan wajah letih sekali. "Alhamdulillah, sejak tinggal di shelter Iqro ini, kondisi batin saya mulai nyaman. Saya mendapatkan pencerahan setiap menghadiri taklim Bidadari Fajar. Ustadz Ghofur, Bu Melani, dan teman-teman sangat memberi semangat, sering mendoakan kami yang sedang tertimpa masalah."

Ketika ditanya, apakah dia masih ingin melanjutkan kerja di negeri beton ini, ibu dua anak itu pun mengangguk tegas. Alasannya, dia belum memberi banyak untuk keluarga besarnya di Wonosobo. Dua anaknya yang dititipkan kepada orangtua masih kecil, sulungnya 9 tahun, bontotnya hampir 5 tahun. Jadi, Rasmi terpaksa meninggalkan anaknya yang terkecil saat masih berusia 2 tahun.

Di tengah gempita istilah yang sering dikumandangkan oleh para birokrat; Pahlawan Devisa, dengan segala keberhasilannya, kenyataan di lapangan bicara lain. Masih banyak ki sah memilukan, memiriskan hati, dan acapkali tampak sebagai gelombang badai beraroma; ketakadilan, kezaliman, dan kekejian tiada teperi.

Bahwa Yuni dan Rasmi hanyalah merupakan secuil saja dari kasus-kasus yang tengah dihadapi oleh para nakerwan Indonesia di Hong Kong, ini kenyataan yang wajib diperhatikan oleh pihak-pihak terkait. Bukan sebaliknya, justru pihak LSM, baik yang bervisi-misi Islam maupun non-Muslim yang selalu cepat tanggap dalam mengulurkan bantuan, bahkan mencarikan solusi bagi mereka.

"Saya ikhlas menerima kenyataan ini, hanya dapat gaji sebulan dan tiket untuk pulang. Biarlah kasus penganiayaan yang menimpa saya tidak perlu diperhitungkan. Bisa lama urusannya," demikian pengakuan Karsinem, mantan TKW yang pernah tinggal di shelter Iqro selama dua pekan, dan memutuskan pulang ke kampung halamannya di Lampung, nyaris dengan tangan hampa.

 

sumber : dompet dhuafa
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement