REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dugaan penambangan uranium oleh PT Freeport di Papua menunjukan lemahnya pengawasan terhadap kontraktor pertambangan di Indonesia. Seharusnya ada pengawasanya berkala terhadap perusahaan tersebut.
"Tak pernah ada pengawasan day to day dari pemerintah," ujar Direktur Eksekutif ReforMiner, Pri Agung Rakhmanto, ketika dihubungi Republika, Senin (19/7).
Menurut Pri, surveyor yang ada saat ini justru bukan dari pemerintah, tetapi dari institusi independen. Pemerintah hanya mendapatkan laporan tertulis dari perusahaan penambang.
Padahal, kata Pri, dengan hanya laporan tertulis, pemerintah tidak mungkin mengetahui secara detail barang-barang tambang apa saja yang dikapalkan keluar Indonesia. Dalam perjanjian kontrak kerja dengan PT Freeport, uranium tidak disebutkan. Sehingga jika benar dugaan penambangan bahan baku nuklir itu, maka perusahaan Amerika Serikat itu sudah menyalahi aturan. Tetapi hal ini tidak bisa langsung diketahui jika hanya dengan laporan tertulis.
Oleh karena itu, menurut Pri, perlu dilakukan inspeksi langsung ke tempat-tempat yang diduga menghasilkan uranium tersebut. "Pemerintah punya kewenangan untuk itu," katanya. Namun, inspeksi tersebut bukan hanya datang, lalu melihat tempat-tempat yang ditunjukan oleh perusahaan tambang. Sebelum berangkat tim inspeksi itu harus memiliki sendiri data yang komprehensif tentang lokasi-lokasi uranium. Sehingga hasil inspeksinya akan lebih terfokus.
Selain itu ke depannya, Pri meminta kepada pemerintah untuk menugaskan inspektor pertambangan di daerah-daerah pertambangan seperti di PT Freeport. Inspektor itu bertugas untuk melakukan pengawasan berkala terhadap barang-barang yang ditambang. "Nanti bisa bekerjasama dengan Dinas Pertambangan di daerah," tegasnya.