REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan adanya penyimpangan bantuan sosial (bansos) di berbagai daerah yang dipergunakan sebagai alat komoditas politik. Hal ini menjadi salah satu penyebab lambannya kemajuan pemerintah daerah dalam melakukan pembangunan.
''Rata-rata yang mendapatkan bansos itu orang-orang yang mempunyai akses. Akses dengan bupati, calon bupati atau kepala daerah. Itulah kenapa bansos banyak bersifat politis,'' ujar Anggota IV BPK, Rizal Jalil, ketika dihubungi Republika, Ahad (18/7).
Seharusnya, kata dia, bantuan yang diberikan harus diperjelas secara lebih detail. Bantuan sosial seperti apa dan bagaimana bentuknya. ''Namanya bantuan harus jelas ada target dan rencananya seperti apa. Perlu lebih diperdetail,'' jelasnya.
Sehingga bantuan tersebut benar-benar dapat dirasakan masyarakat. Dengan demikian secara perlahan dapat melepaskan ketergantungan dari pemerintah pusat. Harus diakui, kata Rizal, hampir semua daerah pemekaran tidak ada satupun yang berhasil menjadi kota mandiri.
Dari dana transfer pemerinsah pusat ke daerah dalam APBN Perubahan 2010 sebesar Rp 344 triliun, anggaran belanja yang dikeluarkan umumnya hanya dipakai untuk belanja barang. Pemda lebih mengutamakan untuk membangun kantor pemerintahan, rumah dinas bupati, atau kendaraan dinas.
''Seharusnya bisa mengutamakan yang prioritas seperti membangun sekolah atau memperbaiki kualitas rumah sakit,'' kritiknya.