REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Polemik seputar pemberian hak pilih kembali kepada anggota militer, TNI dan Polri terus bergulir. Kali ini pengamat Politik Universitas Gadjah Mada Hasrul Hanif menilai, pengembalian hak pilih TNI/Polri pada Pemilu 2014 masih sangat rentan menimbulkan perpecahan baik di kedua institusi itu maupun di partai politik.
"Banyaknya partai politik memungkinkan setiap pihak dari TNI/Polri akan berafiliasi di dalamnya dan tanpa kesiapan akan rentan memicu friksi," kata dia, Rabu (30/6). Hasrul masih meragukan kesiapan dari institusi TNI/Polri dan juga partai politik sipil dalam menerima hak pilih TNI/Polri.
Apalagi, katanya, adanya partai politik yang dipimpin oleh para pensiunan jenderal, tentu hal itu akan berpengaruh di dalamnya. Jadi, lanjut dia, pengembalian hak pilih itu sebaiknya menunggu sampai TNI/Polri saat ini benar-benar telah profesional dan dipimpin oleh mereka yang dididik pada era reformasi.
Hasrul menambahkan, pada prinsipnya hak memilih dan dipilih merupakan hak dasar warga negara termasuk anggota TNI/Polri. Tetapi ada konteks yang kemudian mengecualikan hal itu, sehingga perlu adanya penundaan pemberian hak pilih tersebut pada 2014.
Ia mengatakan, sejarah panjang generasi militer yang terlibat jauh dalam kebijakan politik pada masa Orde Baru masih cukup mengakar hingga saat ini. "Generasi-generasi dari pimpinan yang muncul saat ini merupakan hasil dari pendidikan di masa Orde Baru yang tentu saja masih memiliki keterkaitan sejarah dengan masa lalu," katanya.
Untuk itu, menurut dia, perlu ditunda hingga munculnya generasi-generasi baru yang benar-benar terlepas dari sejarah Orde baru. "Semua orang sepakat untuk memberikan hak pilih TNI/Polri," ujarnya.
Tapi sampai kapan? "Sampai generasi yang dididik dengan dwifungsi itu selesai dan diganti serta dipimpin oleh tentara profesional. Di sinilah peluang terbuka bagi TNI/Polri untuk masuk," katanya.