REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Proporsi pembagian gas untuk kebutuhan dalam negeri dan eskpor dinilai kalangan Anggota DPR tidak adil. Undang - Undang No 22 tahun 2001 tentang MIgas dianggap lebih berpihak kepada kepentingan asing.
Hal itu terlihat dari Domestic Market Obligation (DMO) yang diatur dalam ketentuan perundangan hanya mengatur minimal 25 persen buat kebutuhan domestik. "Gas kita banyak tapi DMO kita cuma 25 persen, Undang -Undang Migas ini harus diamandemen," ujar Ketua Komisi VI DPR Erlangga Hartarto saat memberikan pandangannya dalam Rapat Kerja Gabungan antara Pemerintah dengan Komisi IV, VI dan VII DPR RI, Rabu (16/6).
Sebut saja masalah alokasi gas industri. Dari 977 mmscfd gas yang diminta, hanya 751 mmscfd yang diberikan. Kemudian Krakatau steel dari 250 mmscfd yang diminta hanya 63 mmscfd yang dikasih oleh PGN. "Kami melihat kebijakan energi belum komprehensif, gas bahan bakar yang paling murah, tapi kita subsidi paling mahal BBM itu impor, Gas kita banyak tapi diekspor," ucapnya.
Pemerintah, tambah Erlangga, kini tengah menyiapkan LNG receiving terminal ditiga lokasi. Namun ketersediaan pasokan gasnya masih diragukan. Seharusnya lapangan Donggi Senoro nantinya dapat mengamankan pasokan gas itu. Kemudian juga renenoisasi gas Tangguh. Sehingga kebutuhan domestik bisa terpenuhi. "Jangan beralasan karena harga luar negeri yang lebih kompetitif. Karena 11 dolar harga gas disingaura. Tapi di Amerika harganya lebih rendah dari itu," terang dia.
Karenanya dia meragukan niat pemerintan untuk mendorong pertumbuhan Industri, jika pasokan gas untuk kebutuhan domestik diabaikan. "Bagaimana industri mampu bersaing jika gas tidak tersedia," ujar Erlangga.
Anggota Komisi VII DPR Zulkieflimansyah menilai Indonesia kini masih kekurangan gas. Tapi sayangnya BUMN tidak bisa melakukan renegoisasi Gas ke Singapura. Padahal jika alokasi Gas terpenuhi PLN sepertinya tidak perlu melakukan kenaikan TDL. "Kendalanya apa," tanya Zulkifli.
Kemudian masalah Donggi Senoro. Saat ini komposisi yang diberikan 70 persen (ekspor), dan 30 persen (impor). Alasannya selalu kembali kepada harga luar negeri yang lebih menjual. Jika seandainya Industri dalam negeri sanggup membeli dengan harga kompetitif apakah pemerintah mau mengutamakan kepentingan domestik. "Apakah Pemerintah punya keberanian untuk kepetingan domestik sehingga DMO tersebut benar-benar bisa dinikmati," jelasnya.
Anggota Komisi IV DPR, Soepriyatno menambahkan komposisi DMO 25 persen sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Migas itu adalah titipan. Penuh dengan intervensi asing. "Kalau itu tidak dirubah, maka kita tidak akan menyeselesaikan masalah dalam negeri," ujarnya.