REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peristiwa Lumpur Lapindo berawal pada 27 Mei 2006, kini sudah berusia empat tahun. Dalam kurun empat tahun itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis bahwa sudah sebesar Rp 2,8 triliun APBN yang terpakai untuk menangani semburan lumpur itu.
"Akibat tragedi Lumpur Lapindo ini, masyarakat menderita kerugian secara langsung yang amat besar, seperti kerusakan aset dan infrastruktur disebabkan dampak langsung tragedi lumpur Lapindo sebesar Rp 5,1 triliun," kata Koordinator Advokasi dan Investigasi Fitra, Ucok Khadafi, Ahad (30/5).
Dia mengatakan, pihak yang menanggung kerugian terbesar secara riil adalah masyarakat sebagai pemilik tanah dan bangunan, yakni sebesar 62,5 persen dari keseluruhan. Kemudian di posisi kedua dan berikutnya adalah kontraktor pelaksana sebesar 29,02 persen, usaha swasta sebesar 7,36 persen, BUMN sebesar 1,11 persen, dan PDAM Kabupaten Sidoarjo sebesar 0,01 persen.
Tak hanya itu, ujar Ucok, tragedi Lumpur Lapindo berdampak kepada perekonomian Kabupaten Sidoarjo dan wilayah sekitarnya. "Dampak tersebut dapat berupa hilangnya sumber-sumber pendapatan masyarakat, pemerintah pusat atau daerah, dan dunia usaha akibat rusaknya lahan pertanian, pertambakan, pabrik, dan peralatan.
Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden No 14/2007 pada 31 Maret 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). BPLS bertugas menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infranstruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan anggaran berasal dari APBN.
"Dengan demikian, akibat dari Peraturan Presiden No 14/2007, Presiden dimulai 2006 hingga 2010 sudah harus mengeluarkan anggaran dari APBN sebesar Rp 2,8 triliun untuk penanganan tragedi Lumpur Lapindo, yakni APBN 2006 sebesar Rp 6,3 miliar; APBN 2007 sebesar Rp 144,8 miliar; APBN 2008 sebesar Rp 513,1 miliar; APBN 2009 sebesar Rp 592,1 miliar; APBN 2010 sebesar Rp 1,216.0 triliun; dan APBNP 2010 sebesar Rp 205,5 miliar.