REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Peneliti pemilukada dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menilai ada dua faktor besar yang menyulut konflik pada masa pemilihan kepala daerah. ''Ciri yang pertama itu, kalau incumbent naik,'' katanya ketika dihubungi Republika, Senin (24/05).
Apalagi jika incumbent menyisakan kontroversi atau kasus-kasus hukum di masyarakat. Kasus yang paling mendapat penolakan dari publik adalah kasus korupsi APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Terkait kondisi ini, Siti mencontohkan, pemilukada periode sebelumnya yang digelar di daerah Tuban dan Jember. Khusus untuk daerah Tuban, masyarakat menjadi marah karena incumbent telah berlaku sewenang-wenang. Bahkan incumbent itu mulai membangun kerajaan dan monopoli ekonomi.
Situasi kemudian akan bertambah buruk jika elit-elit lokal juga merasakan kekecewaan yang sama. Sehingga sudah tidak bisa lagi mengendalikan massanya.
Kemudian faktor pemicu yang kedua adalah penyelenggara pemilu yang tidak independen. Ditambah lagi dengan ketidakprofesionalan para penyelenggara tersebut. ''Terkadang birokrasi ini ditarik oleh pasangan calon atau partai politik,'' jelasnya Siiti. Kondisi akan jauh lebih parah jika intervensi tersebut sampai merugikan APBD. Masyarakat akan jauh lebih brutal.