JAKARTA--Jumlah penderita gangguan jiwa setiap tahun semakin bertambah. Menurut Dr. Gerald Mario Semen, SpKJ, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr. Soeharto Heerdjan mengatakan berdasarkan survei Dinas Kesehatan, pada 2007, ada 11 persen populasi masyarakat Indonesia yang menderita gangguan jiwa. "Angka ini terbilang tinggi," ujarnya.
Berdasarkan grafik kunjungan pasien rawat jalan tercatat sejak 2005 hingga 2009 pasien bertambah. Pada 2005 tercatat ada 9.841 pasien. Pada 2006 menjadi 11.675 pasien. Setahun kemudian, tercatat ada 14.064 pasien. Pada 2008 ada 17.822 pasien. Sedangkan pada 2009, meningkat lagi menjadi 19.936 pasien.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada pasien rawat inap di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan. Grafik kunjungan pasien rawat inap sejak 2005 terus naik dari 898, 1.022, hingga 1.035. Namun, pada 2008, sempat terjadi penurunan jumlah pasien menjadi 1.001. Hanya saja, di tahun berikutnya, justru terjadi peningkatan cukup signifikan. Terjadi kenaikan jumlah pasien sebanyak 398 orang menjadi 1.399 pasien pada 2009 lalu.
Menurut Mario, sapaan akrabnya, kebanyakan pasien berasal dari Jakarta, Banten, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Penyebabnya, multifaktor dan salah satunya faktor keturunan atau gen. "Ada korelasi bahwa pada keluarga dengan gangguan jiwa, anak-anaknya juga ada yang sakit jiwa," jelasnya.
Faktor lainnya yaitu akibat keracunan seperti mengonsumsi narkoba sebab hal tersebut menyebabkan kerusakan di otak dan pengaruhnya sangat signifikan. "Akibatnya pasien merasa takut, cemas, dan berhalusinasi," ujarnya.
Selain itu, gangguan jiwa bisa juga karena infeksi, trauma di kepala, dan mengonsumsi makanan yang tercampur logam berat. Sedangkan, gangguan jiwa pada orang dewasa sering berasal dari tingkat stres yang terlalu tinggi. "Contohnya beban hidup yang semakin tinggi hingga konflik rumah tangga," jelas Mario.
Ia juga mengingatkan, gangguan ini bisa dialami orang tanpa mengenal batas usia, termasuk anak-anak. Penderita terbanyak, sambungnya, berada di usia dewasa muda dengan kisaran usianya antara 20-40 tahun.
Meskipun jumlahnya selalu meningkat, Mario menuturkan gangguan jiwa bisa disembuhkan. Sayangnya, masyarakat masih banyak beranggapan gangguan jiwa disebabkan dosa, kutukan, bahkan guna-guna.
Akibatnya, justru tidak akan menyembuhkan melainkan membuat penyakit semakin parah karena tidak mendapat pengobatan yang seharusnya. "Yang ringan bisa sembuh selama enam bulan jika rutin meminum obat," jelasnya.
Sedangkan, kategori berat seperti skrizofrenia meski sudah sembuh harus tetap mengonsumsi obat. "Ini untuk mencegah kekambuhan," katanya.
Seperti yang dialami salah seorang pasien, sebut saja Al. Saat ini, kondisi kejiwaan lelaki asal Sulawesi ini sudah membaik dibandingkan empat tahun yang lalu. Dulu, di Surabaya ia sempat mendekam di penjara karena dituduh maling. Yusman, adik Al mengatakan tuduhan itu tak pernah dilakukan kakaknya. "Akibat hal itu, kakak saya jiwanya terganggu. Ia sering mengigau dan marah-marah," katanya.
Keluarga Al sempat melakukan pengobatan alternatif untuk kesembuhan kakaknya. Bahkan, ia sempat membawanya ke kiai di Indramayu untuk diobati. "Kata kiai, saraf kecil diotaknya putus jadi harus dibawa ke RSJ," ujar Yusman, adik Al.
Keluarga pun membawanya ke RSJ di Grogol, Petamburan, Jakarta Barat. "Sampai sekarang, ia harus tetap minum obat dan kontrol ke RSJ," katanya.