Senin 26 Feb 2024 18:51 WIB

Bawaslu Masih Ogah Beberkan Kasus Perdagangan Surat Suara di Malaysia

Bawaslu masih enggan memaparkan kasus perdagangan surat suara di Malaysia.

Rep: Febryan A/ Red: Bilal Ramadhan
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja. Bawaslu masih enggan memaparkan kasus perdagangan surat suara di Malaysia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja. Bawaslu masih enggan memaparkan kasus perdagangan surat suara di Malaysia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja masih enggan membeberkan informasi terkait kasus dugaan perdagangan surat suara di Malaysia. Dia beralasan bahwa kasus tersebut sedang diselidiki oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri atas Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan.

"Karena masih dalam proses, saya nggak bisa ngomong ini. Masih dalam proses," ujar Bagja kepada wartawan di Kantor DKPP, Senin (26/2/2024).

Baca Juga

Bagja khawatir, jika informasi kasus tersebut dibuka, maka beberapa pihak yang diduga terlibat bakal melarikan diri. Ditanya apalah penyelenggara pemilu terlibat dalam kasus tersebut, Bagja juga ogah bicara. "No comment, no comment," ujarnya.

Kasus dugaan jual-beli surat suara tersebut awalnya diungkap oleh Migrant Care, sebuah LSM yang bergerak dalam isu perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI). Migrant CARE awalnya menemukan sekitar sekitar 10 kotak pos terbengkalai tanpa penjagaan di tiga apartemen di Malaysia pada 10 Februari 2024.

Hanya saja, tidak ada surat suara di kota pos tersebut. Menurut Migrant CARE, apartemen-apartemen itu banyak dihuni warga negara Indonesia yang seharusnya menerima surat suara Pemilu 2024 via pos.

Lembaga pemantau pemilu terakreditasi Bawaslu RI itu menduga, surat suara dari kotak pos terbengkalai itu sudah diambil oleh sindikat perdagangan surat suara. Mereka mengambil surat suara yang sebenarnya untuk pemilih di apartemen tersebut.

Setelah mengumpulkan surat suara dari pos, mereka bakal menawarkannya kepada peserta pemilu yang membutuhkan suara. Mereka menjual satu suara seharga 25 hingga 50 ringgit Malaysia atau setara Rp 81 ribu hingga Rp 163 ribu.

Anggota Migrant CARE, Muhammad Santosa, dalam jumpa pers di kantor Bawaslu RI, Selasa (20/2/2024), mengatakan, modus perdagangan surat suara seperti itu sudah kerap terjadi setiap gelaran pemilu di Malaysia.

KPU dan Bawaslu sebelumnya sepakat untuk tidak menghitung suara hasil pemilihan metode pos dan Kotak Suara Keliling (KSK) di Kuala Lumpur karena ada masalah pendataan pemilih. KPU bakal menggelar pemungutan suara ulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement