Senin 05 Feb 2024 12:33 WIB

Komisi X: Tempatkan Kritik dari Kampus Sebagai Pesan Keprihatinan Para Cendekiawan

Publik diajak untuk tetap fokus pada substansi atau pesan seruan kampus.

Civitas Akademika UGM yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni menyampaikan Petisi Bulaksumur, di Balairung UGM, Rabu (31/1/2024) sore.
Foto: Dok UGM
Civitas Akademika UGM yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni menyampaikan Petisi Bulaksumur, di Balairung UGM, Rabu (31/1/2024) sore.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gerakan moral dari para sivitas akademika di berbagai kampus di Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir harus disikapi bijak oleh berbagai pihak. Komisi X DPR RI pun mengajak publik fokus pada substansi atau pesan seruan kampus alih-alih menjegal kebebasan akademis dengan stigma politis. 

“Seruan civitas akademika perguruan tinggi dalam beberapa hari terakhir harusnya ditempatkan sebagai pesan keprihatinan para cendikiawan atas berbagai fenomena di Tanah Air jelang pelaksanaan Pemilu 2024. Bukan berusaha membungkam mereka dengan berbagai stigma politis atau tudingan berpihak ke calon tertentu,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Senin (5/2/2024).

Baca Juga

Gelombang seruan penyelamatan demokrasi dari civitas akademika di berbagai kampus kini terus membesar. Seruan itu diawali oleh civitas akademika dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Kemudian diikuti Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Indonesia (UI), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Andalas, UIN Sunan Kalijaga, dan beberapa yang lain.

Huda menilai, suara civitas akademika dari berbagai kampus tersebut tentu didasarkan pada pertimbangan matang. Apalagi para kaum cerdik pandai itu tidak mungkin mempertaruhkan reputasi mereka dalam dunia akademik hanya untuk kepentingan jangka pendek. 

“Mereka ini para guru besar, rata-rata doktor, dosen senior sehingga mempunyai legitimasi secara akademis menyuarakan keprihatinan atas fenomena yang mengancam masa depan bangsa,” katanya.

Seruan, petisi, pernyataan sikap, dari para civitas akademika ini, lanjut Huda, tentu didasarkan pada kondisi objektif yang terjadi jelang Pemilu 2024. Fenomena keberpihakkan aparat pemerintah kepada calon tertentu, munculnya dugaan intimadasi aparat kepada konstetan lain, hingga mobilisasi perangkat desa memenangkan calon tertentu merupakan kondisi yang harus disikapi oleh semua elemen bangsa, termasuk kalangan kampus. 

“Kita tentu tidak bisa menutup mata dengan situasi politik saat ini di mana salah satu kontestan pilpres adalah keluarga inti presiden. Maka sudah sewajarnya jika ada seruan agar semua stakeholder menjaga agar pemilu kali ini berjalan jujur dan adil,” katanya. 

Huda berharap agar semua pihak menempatkan seruan civitas akademika ini sebagai lonceng peringatan agar semua pihak menjaga kualitas dan legitimasi Pemilu. Menurutnya, harga yang harus dibayar bangsa ini terlalu mahal jika pemilu diwarnai kecurangan. 

“Pemilu tidak hanya butuh konstitusional tetapi juga butuh legitimasi. Jika diwarnai kecurangan mungkin hasilnya tetap konstitusional karena sesuai prosedur tetapi pasti tidak akan legimate dan itu pasti berbahaya karena pemerintah yang dihasilkan juga tidak akan mendapat dukungan mayoritas rakyat,” katanya. 

Untuk diketahui, sejumlah civitas akademika berbagai kampus menyuarakan keprihatinan mereka atas situasi politik jelang pelaksanaan Pemilu 2024 pada Rabu (14/2/2024). Mayoritas meminta agar Pemilu 2024 berjalan jujur dan adil. Salah satunya dengan memastikan aparatur pemerintah, mulai dari presiden hingga aparat negara paling bawah agar bersikap netral. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement