Ahad 05 Nov 2023 16:53 WIB

Mahkamah Kehormatan MK Vs Operasi “Kasak Kusuk” Penguasa

Sejak awal publik sudah curiga dengan pengangkatan Anwar Usman.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota MKMK Wahiduddin Adams (kiri) dan Bintan R. Saragih (kanan) saat memimpin sidang pendahuluan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Sidang pendahuluan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi yang beragendakan mendengarkan keterangan empat pelapor dari Integrity, Constitutional and Administrative Law Society, LBH Yusuf dan Zico.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie (tengah) bersama anggota MKMK Wahiduddin Adams (kiri) dan Bintan R. Saragih (kanan) saat memimpin sidang pendahuluan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (31/10/2023). Sidang pendahuluan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi yang beragendakan mendengarkan keterangan empat pelapor dari Integrity, Constitutional and Administrative Law Society, LBH Yusuf dan Zico.

Oleh : Asep Lukman*

REPUBLIKA.CO.ID, Dahulu saat membaca berita Anwar Usman yang terpilih kembali menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2023-2028, saya sedikit kaget. Tentu yang terlintas di benak saya, apakah tidak ada lagi selain dia, dan apakah para hakim anggota tidak pernah mendengar, membaca atau melihat kegelisahan, kekhawatiran serta kecurigaan dari masyarakat karena adanya hubungan keluarga antara Anwar Usman yang kini menjadi adik ipar Presiden Jokowi?.

Padahal rasa was-was masyarakat pada sosok Anwar Usman itu merupakan hal yang sangat wajar dan tepat jika dijadikan salah satu pertimbangan. Terlebih tahun depan adalah pemilu. Bukankah keberadaan MK sangat vital demi menguji berbagai proses dan sengketa hasil pemilu.

Sejak awal publik sudah curiga bahwa diangkatnya kembali Anwar Usman jadi ketua MK merupakan bagian dari operasi “kasak kusuk” suksesi pemilu yang senantiasa ingin terus dimenangkan para pihak yang sekarang sedang berkuasa. Kasihan pada presiden Jokowi. Di akhir masa jabatannya, beliau pontensial tertuduh sebagai orang yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaanya.

Wahai.. Para hakim anggota. Kenapa bisa-bisanya nalar kalian tidak mampu membaca kondisi psikologis dan sosiologis masyarakat sebagai pertimbangan. Bukankah kalian belajar teori “sociologische grondslag” sebagai teori hukum yang menyatakan bahwa salah satu landasan membuat suatu keputusan atau undang-undang adalah aspirasi, nilai, norma dan keyakianan masyarakatnya.

Padahal jika kita mencermati UU Kehakiman yang dihimpun Mahkamah Agung tahun 1992. Yang merujuk pada KUHAP jelas menyatakan bahwa : menurut UU nomor 14 tahun 1985  “Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera”.

Selanjutnya dalam Pasal 42 berbunyi: “Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak lang­sung. Hakim yang ber­sangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan Penuntut Umum”.

Pertanyaan saya, kenapa aturan kehakiman kok standard ganda?. Di saat Hakim MA dilarang mengadili pencuri ayam yang kebetulan memilki hubungan keluarga denganya, kenapa Hakim MK bahkan Ketua MK boleh mengadili suatu undang-undang, padahal posisinya terikat hubungan keluarga dengan aktor inti undang-undang tersebut yaitu presiden.

Bukankan risiko conflict of interest akan jauh lebih tinggi dibanding hakim MA yang dilarang mengadili keluarganya dalam persolan pelanggaran pidana atau perdata.

Sekali lagi, Saya ingin mempertanyakan soal dasar-dasar logika hukum itu. Kenapa risiko kecil dihindari sementara sesuatu yang menyangkut nasib undang-undang, pemerintahan, demokrasi, dan pemilu malah diabaikan.

Kenapa negara begitu etis, moralis dan hati-hati dalam mengadili pencoleng. Namun di sisi lain melakukan pembiaran pada independensi ketua MK yang padahal keputusannya jauh berefek sistemik pada nasib bangsa dan legitimasi negara.

Sidang Mahkamah Kehormatan MK

Menyoal sidang Mahkamah Kehormatan MK yang dianggap tidak akan mengubah keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, lalu apa manfaat dari sidang Mahkamah Kehormatan MK. Padahal yang diprotes oleh banyak kalangan adalah adanya dugaan intervensi penguasa untuk meloloskan seseorang menjadi cawapres.

Dan jika saja sampai ada sanksi pemecatan pada hakim-hakim MK, tetap itu tidak akan memuaskan rasa perasaan masyarakat. Artinya, yang dituntut masyarakat terhadap keputusan MK itu jelas bukan soal sanksi pada hakim MK, tapi bagaimana cawapres yang diloloskan lewat putusan MK itu bisa dianulir, sehingga sehingga tidak bisa mengikuti kontestasi pilpres.

Masyarkat hanya akan menilai, persidangan Kode Etik MK adalah sebuah sinetron yg berjudul "Pembiasan Masalah"....!

*) Penulis adalah seorang aktivis sekaligus pemerhati sosial politik

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement