Ahad 22 Oct 2023 05:05 WIB

Terang-Gelap Kesehatan Mental di Era Media Sosial

Memang akhirnya wisdom alias kebijaksanaan diri kembali menjadi kunci.

Postingan Medsos Bisa Jadi Tanda Depresi
Foto: Republika
Postingan Medsos Bisa Jadi Tanda Depresi

REPUBLIKA.CO.ID,

Ditulis oleh Wartawan Republika, Setyanavidita L

Media sosial (medsos) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Lewat medsos kini, berbagai pergeseran dinamika sosial pun dimulai.

Salah satunya, terkait isu kesehatan mental. Sebelum era digital datang, isu kesehatan mental nyaris tak terjamah.

Profesi psikolog dan psikiater pun menjadi pekerjaan yang sangat eksklusif. Tak semua orang bersedia datang kepada mereka.

Kini, perlahan berkat kehadiran medsos, isu kesehatan mental mulai membumi. Meski, ironisnya, tak jarang juga media sosial jugalah yang memicu semakin banyak orang yang mengalami gangguan kepribadian.

Data dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama, mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia. Hasil dari riset yang dipublikasi pada Oktober 2022 ini menunjukkan, satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental.

Sementara satu dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. 

Sama seperti pemanfaatan teknologi di berbagai industri, penggunaan media sosial saat ini juga memiliki dua sisi dalam isu kesehatan mental. Berkat kehadiran medsos, kini semakin banyak orang yang bisa tetap terhubung. Baik dengan teman, keluarga, maupun rekan-rekan jarak jauh. 

Hal ini tentunya dapat memberikan rasa koneksi sosial yang penting untuk kesejahteraan mental. Platform seperti Facebook dan Twitter (X) pun sudah lama menjadi ruang bagi individu untuk berbagi pengalaman mendapatkan dukungan emosional. 

Termasuk juga untuk menemukan kelompok dengan minat atau tantangan serupa. Saat ini, berkat media sosial juga, stigma terkait berbagai permasalahan mental mulai terkikis.

Kehadiran akun-akun yang menguatkan, membagikan cerita tentang pengalaman bergelut dengan depesi, atau mencari pertolongan ke profesional, seperti psikiater, membuat orang mulai berkurang keengganannya untuk mencari pertolongan. Belum lagi, untuk urusan kesehatan mental, terapi melalui seni, musik, atau ekspresi karya lainnya, sudah lama diakui menjadi salah satu cara untuk menjaga vitalitas pikiran.

Media sosial merupakan wadah sekaligus corong yang tepat untuk menyalurkan ekspresi seseorang. Wadah ini juga dapat memberikan rasa pencapaian dan keberhasilan, hingga memberikan pengguna rasa prestasi dan peningkatan harga diri. 

Namun, mengandalkan media sosial untuk menyehatkan mental bisa jadi upaya yang sia-sia. Mengingat banyaknya hal toksik yang bergulir di sana. 

Yang paling terasa, adalah fenomena perbandingan sosial yang dapat memicu perasaan rendah diri dan kecemasan. Terutama, ketika pengguna membandingkan hidup mereka dengan gambaran yang disajikan orang lain di media sosial.

Belum lagi, peningkatan kasus intimidasi dan pelecehan daring yang nyata-nyata dapat memiliki dampak serius pada kesehatan mental. Bullying di media sosial dapat menyebabkan depresi, ansietas, dan bahkan berkontribusi pada risiko bunuh diri.

Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Jumlah ini sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 yang jumlahnya 900 kasus.

Meski terkesan sepele, penggunaan media sosial yang berlebihan juga dapat menyebabkan ketergantungan. Dampaknya pun tak sederhana, yakni dapat mengganggu pola tidur, dan menyebabkan kurangnya istirahat yang diperlukan untuk kesehatan mental yang baik.

Dengan membanjirnya informasi dan tren terkini, FOMO alias fear of missing out dan penyebaran berita bohong pun, tak jarang sampai memengaruhi suasana hati dan menyebabkan stres. Dengan impasnya peran media sosial dalam urusan kesehatan mental, memang akhirnya wisdom alias kebijaksanaan diri kembali menjadi kunci.

Tak selamanya juga segala sesuatu yang modern, kental dengan teknologi memiliki nilai yang lebih baik. Terkadang, menyingkir dari dunia maya dan mencari koneksi secara langsung, tanpa perantara paket data, bisa memberi manfaat yang lebih nyata. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement