Senin 16 Oct 2023 10:18 WIB

Tenaga Medis Gaza Ikut Menjadi Korban

RS di Gaza tidak mendapat bantuan medis dari luar, 15 petugas medis telah gugur

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Warga Palestina terlihat histeris di samping anak yang menjadi korban luka serangan udara Israel di rumah sakit al-Aqsa di Deir el-Balah, Jalur Gaza tengah, Ahad (15/10/2023).
Foto: AP Photo/Adel Hana
Warga Palestina terlihat histeris di samping anak yang menjadi korban luka serangan udara Israel di rumah sakit al-Aqsa di Deir el-Balah, Jalur Gaza tengah, Ahad (15/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, KHAN YOUNIS -- Ribuan orang memadati halaman rumah sakit terbesar di wilayah Gaza. Para dokter kewalahan berjuang merawat pasien. Pada saat yang sama, tak sedikit tenaga medis juga berguguran.

Kekerasan tidak luput dari perhatian para petugas kesehatan. Ahli bedah plastik Medhat Saidam meninggal bersama 30 anggota keluarganya dalam serangan udara ketika pulang bekerja pada 14 Oktober.

Baca Juga

Menurut  direktur rumah sakit Mohammed Abu Selmia, 15 petugas medis telah gugur sejauh ini. Tak hanya itu, tak sedikit tenaga medis yang bertugas harus mendapatkan kabar keluarganya menjadi korban kekejaman Israel.

Kementerian Kesehatan Gaza pun mengeluarkan seruan mendesak kepada masyarakat internasional untuk mengirimkan peralatan dan petugas medis ke wilayah tersebut.

“Perbedaannya dengan eskalasi ini adalah kami tidak mendapat bantuan medis dari luar, perbatasan ditutup, listrik padam dan ini merupakan bahaya besar bagi pasien kami,” kata Dr. Mohammed Qandeel yang bekerja di Rumah Sakit Nasser di daerah Khan Younis selatan.

Para dokter di zona evakuasi mengatakan, mereka tidak dapat merelokasi pasiennya dengan aman, sehingga memutuskan untuk tetap tinggal untuk merawat mereka.

“Kami tidak akan mengevakuasi rumah sakit meskipun hal itu mengorbankan nyawa kami,” kata kepala pediatri di Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahia Dr. Hussam Abu Safiya.

Jika mereka pergi, menurut Abu Safiya, tujuh bayi baru lahir di unit perawatan intensif akan meninggal. Bahkan jika mereka bisa memindahkannya, tidak ada tempat bagi mereka untuk pergi di wilayah pantai sepanjang 40 kilometer.

“Rumah sakit penuh,” kata Abu Safiya.

Ia mengatakan gelombang warga yang terluka setiap hari dengan anggota badan yang terputus hingga luka yang mengancam jiwa datang tanpa henti.

Menyusul perintah evakuasi, direktur regional Organisasi Kesehatan Dunia Ahmed al-Mandhari menyatakan, sekitar 22 rumah sakit dengan 2.000 pasien di Gaza utara berhasil memindahkan pasien ke selatan. Namun sebagian besar tidak bisa dievakuasi. Lebih dari 60 persen tempat tidur rumah sakit di Jalur Gaza terletak di Gaza utara.

Dokter lain mengkhawatirkan nyawa pasien yang bergantung pada ventilator dan pasien yang menderita luka ledakan kompleks yang memerlukan perawatan sepanjang waktu. Para dokter khawatir seluruh fasilitas rumah sakit akan ditutup.

Banyak orang akan meninggal karena persediaan bahan bakar untuk generator mereka hampir habis. Pemantau kemanusiaan PBB memperkirakan hal ini bisa terjadi pada Senin (16/10/2023).

Al-Mandhari menyatakan, badan tersebut memiliki pasokan di perbatasan Rafah di Mesir, namun tidak ada izin baik dari Mesir atau Israel untuk mengirimkannya. Kelompok-kelompok bantuan mendesak dibuatnya koridor darurat untuk pengiriman bantuan kemanusiaan, hanya saja tidak ada indikasi bahwa koridor tersebut akan dibuka dalam waktu dekat.

Kerentanan ini sangat mengancam bagi Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza yang merupakan jantung zona evakuasi. Para pejabat medis memperkirakan setidaknya 35 ribu laki-laki, perempuan, dan anak-anak berdesakan di lapangan terbuka yang luas, di tangga, dan koridor gedung rumah sakit.

Para pasien itu berharapan lokasi tersebut akan memberi mereka perlindungan dari serangan udara Israel. Meski begitu, ratusan orang yang terluka terus datang ke rumah sakit setiap hari.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement