Sabtu 16 Sep 2023 13:56 WIB

Melihat Mimpi Menjadi Nyata Bersama Sosok yang tak Terduga

Permainan Timnas Indonesia di semua kategori umur enak ditonton.

Selebrasi bek kiri Timnas Indonesia, Pratama Arhan usai membobol gawang Turkmenistan pada pertandingan babak Kualifikasi Grup K AFC U23 Asian Cup 2024 di Stadion Manahan, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (12/9/2023). Indonesia memastikan lolos ke putaran Final Piala Asia U23 2024 usai mengalahkan Turkmenistan 2-0. Gol Timnas Indonesia dicetak oleh Ivar Jenner dan Pratama Arhan.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Selebrasi bek kiri Timnas Indonesia, Pratama Arhan usai membobol gawang Turkmenistan pada pertandingan babak Kualifikasi Grup K AFC U23 Asian Cup 2024 di Stadion Manahan, Surakarta, Jawa Tengah, Selasa (12/9/2023). Indonesia memastikan lolos ke putaran Final Piala Asia U23 2024 usai mengalahkan Turkmenistan 2-0. Gol Timnas Indonesia dicetak oleh Ivar Jenner dan Pratama Arhan.

Oleh : Gilang Akbar Prambadi, Redaktur Olah Raga Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Piala Dunia 2022 beberapa bulan lalu memang berjalan sukses luar biasa. Pecinta sepak bola, khususnya di Indonesia, bahkan kerap melabeli pesta bola empat tahunan itu, yang digelar di Qatar, merupakan Piala Dunia terbaik. Subjektif, tapi logis. Setidaknya ada dua alasan.

Pertama, jam tayang setiap pertandingan yang tergolong ramah bagi mata orang-orang Indonesia, khususnya bagi yang menyaksikan di wilayah WIB. Kedua, sudah bukan rahasia, penggemar Lionel Messi di Indonesia populasinya melimpah.

Tak ayal, unsur subjektifitas kental karena juara Piala Dunia 2022, yakni Argentina yang diperkuat Messi, dianggap memang paling layak menjadi kampiun.

Namun, bagi saya pribadi, seperti ada rasa yang 'salah' ketika menyaksikan puluhan negara bertanding memperebutkan trofi paling bergengsi di planet ini. 'Salah' di sini erat kaitannya dengan nasionalisme.

Ya benar, membuat mata tetap terjaga di depan layar demi menyaksikan negara yang bukan Tanah Air sendiri seperti Inggris, Portugal, Jepang hingga Maroko seperti menjadi sebuah 'pengkhianatan' kepada negeri sendiri.

Batin berontak, terlepas Timnas Indonesia tak pernah main di Piala Dunia; tapi kok ya terasa aneh bela-belain dukung negara lain.

Hati terluka karena seharusnya, energi begadang ini lebih pantas dihabiskan untuk membela Merah Putih. Mungkin narasi saya berlebihan, tapi, jika dipikir, faktanya begitu.

Kita diklaim sebagai negara sepak bola, tapi juara di level regional saja belum juga pecah telur.

Ibarat baju, namanya mimpi harus dirajut, pelan-pelan sampai akhirnya bisa kita nikmati. Demikian kiranya persepsi yang saya bangun ketika melihat timnas U-22 meraih medali emas SEA Games terakhir.

Saya tak perlu menjabarkan seperti apa timnas Indonesia sekarang, silakan lihat di lapangan. Kehadiran pelatih berkelas seperti Shin Tae-yong dibantu orang-orang ahli taktik hebat seperti Indra Sjafri dan Bima Sakti membuat permainan timnas Indonesia di semua kategori umur nikmat ditonton. Tak aneh. Tiga nama di atas memang masternya soal lapangan hijau.

Namun, satu nama lain yang tak bisa dimungkiri memiliki sentuhan 'gila' adalah Erick Thohir. Ketua Umum PSSI sejak Februari 2023 itu tak disangka membuat timnas, dan sepak bola Indonesia secara keseluruhan, ada di posisi saat ini.

Dulu, satu hal yang saya tahu soal Erick adalah seorang pecinta berat olahraga basket. Saya tak akan lupa momen ketika Erick yang merupakan pemilik klub basket dalam negeri, Satria Muda,  kerap kesal jika melihat permainan timnya amburadul.

Tak terbesit sedikitpun di kepala saya kelak ia akan menjadi pemimpin dari federasi sepak bola Indonesia. Meskipun, ya belakangan dekade ini, Erick memang punya latar belakang yang menguat di dunia sepak bola.

Jadi pengendali DC United di Amerika Serikat, Inter Milan di Italia, dan Oxford United di Inggris memenuhi portofolio Erick sebagai 'orang bola'. Tapi saya hanya tak menyangka, Erick begitu gercep tidak kagok dalam bergerak mengurus sepak bola Indonesia yang kondisinya jelimet.

Yang paling berkesan adalah Erick rajin menghadiri laga-laga penting timnas. Masuk ke ruang ganti penonton. Menyebarkan DNA juara kepada para pemain. Memastikan timnas kita memiliki tradisi juara. Sebagai penonton, martabat pun terasa menebal.

Tak sabar rasanya melihat timnas meraih trofi, jika itu memang menjadi ukuran sebuah prestasi. Tapi, melihat timnas bermain tanpa long ball yang tak jelas saja sudah sangat menyenangkan. Jadi, tak berlebihan rasanya jika sekarang kita boleh memulai bermimpi mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang di Piala Dunia. Sebagai pemanasan, mimpi itu akan terwujud ketika timnas muda berjuang di Piala Dunia U-17, November mendatang. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement