Rabu 13 Sep 2023 03:39 WIB

Kontemplasi Kenapa Pangsa Keuangan Syariah Sulit Naik?

Indonesia yang mayoritas masyarakatnya Muslim tapi keuangan syariahnya memble.

Ilustrasi Ekonomi Syariah
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Ekonomi Syariah

Oleh : Lida Puspaningtyas, Redaktur Ekonomi Syariah Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sudah lebih dari 30 tahun usia keuangan syariah Indonesia, pangsa pasarnya kini Alhamdulillah, sudah sentuh dua digit. Wakil Presiden RI, Maruf Amin, beberapa hari lalu menyebut pangsa keuangan syariah sebesar 10,9 persen.

Memang masih jauh dari harapan. Pada 2019 saat Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) disahkan, target pangsa sebenarnya 20 persen di 2024. Satu tahun mengejar 10 persen lagi, bisa?

Kalau mau organik, kita harus melihat skor literasi keuangan syariah dulu. Nilainya menunjukkan seberapa paham masyarakat dengan skema keuangan syariah. Wapres Maruf Amin sebut literasi keuangan syariah sudah 16 persen.

Masih jauh dari targetnya 50 persen, sih. Kalau pun paham, apa menjamin jadi menggunakan? Jawaban optimistis saya, iya! Karena tidak ada yang bisa menolak sistem ekonomi canggih macam ini.

Beberapa waktu lalu saya sempat berbincang dengan seorang pakar, Imam Teguh Saptono yang kiprahnya sudah sangat tersohor di industri. Beliau mengutip perkataan rekannya yang juga sudah pasrah dengan seretnya perjalanan pangsa pasar keuangan syariah Indonesia.

"Pangsa pasar itu, berbanding lurus dengan keimanan," katanya sambil terkekeh. Kira-kira begitu, ada rasa miris di ujungnya.

Bicara pangsa memang akan jadi sangat kompleks kalau hanya mengandalkan supply dan demand. Bukan berarti tidak bisa disederhanakan.

Tugasnya ada di pemerintah sebenarnya. Karena rakyat bisa apa, selain mengikuti kebijakan. Ya sudah-sudah, ya seperti itu.

Dari kisah-kisah kesuksesan kenaikan pesat pangsa pasar di negara lain, hampir semuanya karena kebijakan top down. Malaysia, Iran, Arab Saudi, Uni Emirate Arab, hingga Inggris semua keberhasilan pangsanya karena peran pemerintah.

Mungkin hanya Indonesia, negara yang mayoritas masyarakatnya Muslim, tapi keuangan syariahnya memble.

Apa mungkin masyarakat Muslim Indonesia terlalu pintar sampai skema syariah saat ini dianggap tidak sempurna dan lebih memilih bank konvensional saja sekalian?

Atau pemerintahnya tidak siap menjalankan skema syariah karena dianggap terlalu religius dan bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika? Atau terlalu sibuk dengan agenda-agenda duniawi lainnya yang lebih penting, tentu saja. Syariah itu ya pilih-pilih di agenda tertentu saja.

"Keuangan syariah memang apa sih manfaatnya? Jangan jawab pakai dalil-dalil tapinya yah," katanya.

"Berkah itu harus diterjemahkan dalam hitung-hitungan yang tangible. No mention pahala-pahala club," selentingannya.

Padahal jawabannya tinggal Google aja. Para pakar sudah berbusa-busa menjelaskan dalam jurnal, media massa sudah rewrite ratusan kali, konten-konten dari yang serius sampai bersyandyaa juga sudah banyak. Kita hanya memilih untuk tidak lihat dan tidak cari tahu.

Kalau mau lebih dalam lagi sila perdalam kasus korupsi Rafael Alun dan anaknya, judi online, Paylater, utang riba, investasi bodong, money laundry, dan kawan-kawannya. Seberapa besar ruginya pada ekonomi masyarakat?

Pada akhirnya, mungkin pangsa belum naik karena memang kita tidak siap untuk jadi baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement