Kamis 07 Sep 2023 12:02 WIB

Mencari Obat Pereda Naiknya Harga Beras

Imbas kenaikan harga beras terhadap inflasi akan berdampak cukup panjang.

Pedagang beras di Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, melayani pembeli, Rabu (5/9/2023). Harga beras di Pasar Cikurubuk berkisar Rp 13 ribu hingga Rp 14 ribu per kilogram.
Foto: Republika/Bayu Adji P
Pedagang beras di Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya, melayani pembeli, Rabu (5/9/2023). Harga beras di Pasar Cikurubuk berkisar Rp 13 ribu hingga Rp 14 ribu per kilogram.

Oleh : Fuji Pratiwi, Redaktur Ekonomi Syariah Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID -- Menjelang tiga perempat tahun ini, masyarakat mengeluhkan masih tingginya harga beras. Perum Bulog, sesuai tugasnya untuk menstabilkan pasokan dan harga pangan, menggelar operasi pasar (SPHP) di berbagai daerah. Namun, harga beras enggan turun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dibandingkan Agustus 2022, rata-rata harga gabah pada Agustus 2023 di tingkat petani untuk kualitas GKP, GKG, dan gabah luar kualitas masing-masing naik sebesar 19,88 persen, 23,03 persen, dan 26,04 persen. Di tingkat penggilingan, rata-rata harga gabah pada Agustus 2023 dibandingkan bulan yang sama pada 2022 untuk kualitas GKP, GKG, dan gabah luar kualitas masing-masing naik sebesar 19,93 persen, 22,32 persen, dan 25,62 persen.

Dibandingkan Agustus 2022, rata-rata harga beras di penggilingan pada Agustus 2023 untuk kualitas premium, medium, dan luar kualitas masing-masing naik sebesar 18,72 persen, 22,62 persen, dan 16,05 persen.

BPS juga mencatat, harga beras eceran naik 1,43 persen secara bulanan (mtm) pada Agustus 2023, sedangkan secara tahunan naik 13,76 persen (yoy). Beras menjadi komoditas yang menyumbang inflasi terbesar pada Agustus 2023, yakni sebesar 0,05 persen. Tingkat inflasi tahunan Indonesia pada Agustus tercatat 3,27 persen (yoy). Inflasi beras pada Agustus terjadi peningkatan setelah sempat melandai pada Mei, Juni, dan Juli.

Sejumlah ekonom memprediksi imbas kenaikan harga beras terhadap inflasi akan berdampak cukup panjang.

Meski terkesan ngeri, prediksi itu masuk akal. Sebab jika ditelaah, persoalan harga beras bersumber dari hulunya.

Pertama, Indonesia diprediksi mengalami El Nino. Efek El Nino diprediksi mulai pudar pada Oktober nanti. Namun, di sebagian daerah lain, El Nino diprediksi masih akan terasa hingga awal tahun depan. Ini jelas mengkhawatirkan, sebab ancaman gagal panen kian nyata akibat kekeringan.

Kedua, perang Rusia-Ukraina yang enggan seusai bikin runyam semua. Harga pupuk masih mahal karena embargo terhadap Rusia yang merupakan salah satu pemasok bahan baku pupuk global. Belum lagi, pasokannya yang tersendat. Kalau pasokan bahan baku pupuk sedikit, sementara banyak negara butuh, tentu harga naik.

Kenaikan harga pupuk berimbas ke Indonesia. Harga produksi sektor pertanian ikut naik dan mengerek harga gabah serta beras. Meski di sisi lain, kita ikut bahagia para petani bisa menikmati hasil jeri payah mereka.

Ketiga, negara produsen pangan menahan ekspornya. Belum lama kita dengan India mulai menahan ekspor sejumlah komoditas guna memprioritaskan kebutuhan pangan dalam negerinya. Itu tentu wajar, meski bikin ketar-ketir para pengimpor bahan pangan dari India.

Sadar ada "ancaman", Indonesia meningkatkan kuota impor beras dari dua juta ton menjadi tiga juta ton. Salah satu sumbernya adalah India. Kemendag menyebut Indonesia sudah punya kontrak dengan India untuk impor beras jika dibutuhkan. Kita harap, kontrak ini benar-benar sakti jika Indonesia memang butuh impor beras.

Agaknya, pemerintah tidak diam melihat perkembangan situasi perberasan. Pasti ada langkah pengamanan, saya cukup yakin. Sebab kalau beras mengerek inflasi, kita jadi pusing berjamaah. Selain itu, kita juga belajar, persoalan pangan saat mendekati "pesta politik" rawan menimbulkan gejolak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement