Sabtu 26 Aug 2023 13:40 WIB

Danske, Nazi dan Pembakaran Alquran yang Berulang

Janji palsu Denmark yaang akan ada alat hukum untuk mencegah pembakaran Alquran.

Kelompok Patriot Denmark (Danske Patrioter) jadi penggerak aksi pembakaran Alquran di Denmark.
Foto: AP
Kelompok Patriot Denmark (Danske Patrioter) jadi penggerak aksi pembakaran Alquran di Denmark.

Oleh : Ahmad Syalaby Ichsan, Redaktur Agama Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID,  Aksi penistaan terhadap Alquran terus terjadi di Eropa. Denmark lagi-lagi menjadi tuan rumah aksi menjijikan yang berlangsung pada Jumat dan Sabtu (11-12/8/2023) beberapa waktu lalu. Aktivis sayap dari kelompok sayap kanan Denmark Danske Patrioter membakar Alquran di depan beberapa kantor kedutaan besar negara-negara Muslim.

Pada Jumat (11/8/2023), Danske Patrioter melakukan pembakaran Alquran di depan kedubes Pakistan, Aljazair, Indonesia, dan Maroko. Mereka juga membakar Alquran di dekat sebuah masjid di Kopenhagen. Pada Sabtu, mereka melanjutkan aksinya dari Kedubes Turki yang kemudian berlanjut di depan Kedubes Irak. Kembali, mereka berada di bawah perlindungan polisi. Perlindungan tersebut dilakukan atas dalih prinsip kebebasan berbicara yang diagung-agungkan Eropa.

Seperti biasa, Kementerian Luar Negeri Denmark kemudian akan mengutuk aksi tersebut sebagai tindakan bodoh yang tidak menghormati agama lain. Hanya saja, pernyataan kutukan itu selalu disertai disclaimer jika Denmark menghormati nilai-nilai kebebasan berbicara.

Tekanan dari dunia internasional, khususnya dari dunia Muslim, mau tidak mau membuat negeri Viking ini berjanji hendak merancang sebuah aturan agar penistaan terhadap kitab suci tidak terulang. Menteri Luar Negeri Denmark Lars Lokke Rasmussen bahkan sempat menyatakan akan ada sebuah alat hukum sebagai pencegahan terjadinya pembakaran Alquran.

Meski demikian, janji Pemerintah Denmark tersebut ternyata tidak cukup cepat untuk dieksekusi. Buktinya, hampir dua pekan sejak janji tersebut diucapkan, sudah terjadi lagi aksi pembakaran Alquran. Masyarakat internasional kembali mempertanyakan komitmen Denmark dan Eropa utamanya setelah Dewan HAM PBdB mengeluarkan resolusi yang merespons maraknya pembakaran Alquran. Resolusi tersebut juga menyerukan kepada Dewan HAM PBB untuk menerbitkan laporan tentang kebencian agama dan bagi negara-negara untuk meninjau undang-undang dan menutup celah yang dapat menghambat pencegahan dan penuntutan tindakan serta advokasi kebencian agama.

Tidak hanya itu, lambannya Denmark juga tak sejalan dengan semangat Majelis Umum PBB yang telah mengadopsi resolusi bertajuk "Promoting interreligious and intercultural dialogue and tolerance in countering hate speech“, Selasa (25/7/2023). Dalam resolusi itu, PBB menyatakan penyesalan atas semua tindakan penistaan dan penodaan kitab suci.

Sebagai bangsa yang besar, sudah sepatutnya Denmark bertindak cepat dan tepat. Agak aneh memang saat pemerintah tidak mampu mengendalikan segelintir aktivis yang sebenarnya tidak populer di tengah masyarakat. Jangan sampai kecurigaan dunia Muslim kian membuncah. Kita tahu jika sikap Islamofobia tak hanya ditunjukkan oleh masyarakat sipil. Pemerintah Denmark juga punya rekam jejak tersebut saat mantan Menteri Imigrasi dan Integrasi Mattias Tesfaye mengeluarkan istilah yang digunakan sebagai ukuran statistik untuk masyarakat Denmark yakni MENAPT: Middle East, North Africa, Pakistan, Turkiye.

MENAPT adalah perpanjangan dari istilah kontroversial MENA (Timur Tengah dan Afrika Utara), sebuah konstruksi Eropa untuk mengumpulkan puluhan juta negara dalam sebuah kelompok untuk kebutuhan kebijakan luar negeri mereka sendiri. Istilah MENA juga dilihat sebagai warisan kolonial, karena British India Office yang pertama kali menciptakan istilah 'Timur Tengah' pada tahun 1850-an. Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Alfred Thayer Mahan, seorang pendukung kekuatan angkatan laut Amerika yang terkenal.

Meski MENAPT diperkenalkan pada 2020 lalu,  daftar tersebut telah menjadi bagian penting dari retorika politik negara. Selain itu, peraturan kewarganegaraan baru yang diberlakukan 2022  lalu mengindikasikan bahwa pelamar dari negara-negara MENAPT akan diperlakukan  terpisah dari rekan-rekan mereka dalam daftar non-Barat.

Pengelompokan tersebut pun mempertebal sikap anti Muslim yang ditunjukkan oleh Danske Patrioter yang punya kemiripan visi  dengan organisasi Stram Kurs (Garis Keras) pimpinan politisi Swedia kelahiran Denmark Rasmus Palundan, pembakar Alquran di depan Kedubes Turki di Stockholm, Swedia. Danske Patrioter yang berbasis di Kopenhagen memang mewadahi warga Denmark yang berpaham politik sayap kanan. Sebagian pengikut kelompok ini memang berasal dari pendukung Partai Rakyat Denmark (Danish People Party-Dans Folkeparti), yang berusaha menjaga nilai konservatif budaya Denmark dari gempuran multikulturalisme Eropa.

Danske Patrioter lebih anti-kompromi terutama soal imigran dan Islam. Walau sikap yang mewakili kelompok ini tidak banyak di Denmark dari pandangan mayoritas, kampanye anti-Islam dan anti-imigrannya cukup populer. Cara aksi tersebut dianggap menarik simpatisan warga Denmark yang menolak imigran ke negara ini.

Prof Alison Scott-Bauman, seorang pakar masyarakat dan agama di Pusat Studi Islam di Universitas SOAS menyatakan, pembakaran Alquran di negara-negara Skandinavia adalah akibat dari efek yang ditimbulkan oleh wacana para politisi, yang disusupi oleh gagasan menciptakan musuh dalam masyarakat. Menurut dia, hal tersebut sama dengan apa yang diutarakan oleh filsuf Nazi, Carl Schmidt.

Menurut Bauman, Carl Schmitt mengatakan, untuk mencapai masyarakat yang damai, sangat penting untuk membangun musuh internal untuk dibenci.  Jika masyarakat menciptakan musuh, orang akan mengarahkan kebencian mereka kepada musuh buatan, bukan pemerintah. Dia menegaskan, media sosial punya peran besar dalam menyebarkan kebencian. Media sosial sangat efektif dalam menyiarkan pembakaran Alquran karena pesan kebencian itu menyebar dalam hitungan detik.

Lantas, sampai kapan aksi provokasi ini akan berakhir? Sampai kapan pula umat Islam di seluruh dunia sanggup menahan kesabaran saat kitab suci mereka dibakar kemudian dipertontonkan lewat media sosial? Sebagai Muslim, saya bersyukur umat Islam di sana masih bisa mendistribusikan amarah mereka di jalur yang tepat.

Meski kesal, umat Islam Denmark dengan cerdas tidak membalas aksi tersebut dengan pembakaran kitab suci agama lain. Di dalam beberapa video, umat Islam bahkan menghampiri para demonstran dan mengajak berdialog. Mereka sudah cukup dewasa dan cukup tahu jika melakukan aksi balasan hanya akan merendahkan diri mereka sama seperti para aktivis Danske. Layaknya Nazi yang melantakkan Jerman, api para patriot Denmark hanya akan membakar dirinya sendiri dan Eropa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement