Kamis 03 Aug 2023 12:38 WIB

Gaya Hidup Frugal Living, Kenapa Bikin Insecure?

Kebiasaan orang Indonesia juga yang kerap takut ketinggalan tren.

Jika gaya hidup ala frugal living diterapkan akan memudahkan mencapai tujuan. Foto ilustrasi.
Foto: pixabay
Jika gaya hidup ala frugal living diterapkan akan memudahkan mencapai tujuan. Foto ilustrasi.

Oleh : Endah Hapsari, Redaktur Gaya Hidup Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Belum lama ini sempat viral konten tentang seorang perempuan yang berhasil menyisihkan sekitar 80 persen pendapatannya untuk memberangkatkan umrah orang tuanya meski dia baru berusia 25 tahun.

Ada pula konten di media sosial seorang ibu muda yang bisa membeli gadget mahal, mobil, rumah, staycation, dan mengajak keluarga besarnya liburan meski penghasilan sang suami hanya sekitar Rp 3,5 juta.

Kesamaan dari kedua konten tersebut adalah mereka berhasil menerapkan gaya hidup frugal living. Bagi mereka, saat berhasil menerapkan gaya hidup frugal living, tujuan keuangan mereka bisa dicapai dengan lebih cepat dan mudah.

Menariknya, kendati konten tersebut inspiratif, tak sedikit warganet yang merasa tak yakin hingga mencibir gaya hidup yang diterapkan. ''Tidak masuk akal..sehemat sedemikan rupa..gak mungkin hanya dengan gaji 3,5," tulis seorang warganet. ''Bikin insecure lihatnya,'' timpal yang lain.

Sebenarnya, apakah frugal living? Mengapa banyak yang merasa insecure melihat keberhasilan orang lain yang berhasil menerapkan gaya hidup ini?

Istilah frugal living bermula dari hari-hari sulit di awal 1900-an yang disebut sebagai Depresi Hebat. Ini adalah masa dalam sejarah yang memaksa banyak orang Amerika menjadi sangat kreatif dengan kekuatan yang mereka miliki. Tidak boleh ada yang terbuang sia-sia. Semuanya harus digunakan dan didaur ulang hingga tak bersisa.

Akibat kondisi ekstrem, orang-orang selama Depresi Hebat mengembangkan perspektif baru tentang kehidupan. Mereka fokus pada hal-hal yang penting, kembali ke dasar, dan memanfaatkan apa yang mereka miliki. Mereka mengembangkan pola pikir hemat serta mengerahkan segala kemampuan demi bertahan hidup.

Apa yang bisa kita pelajari dari sejarah ini? Meskipun sebagian besar dari kita tidak hidup dalam kemiskinan ekstrem, namun kita dapat memperoleh manfaat dari belajar dari generasi yang sangat tangguh itu. Belajar hidup hemat dari era Depresi Hebat ini muncul dari masa-masa sulit secara finansial dan telah teruji oleh waktu.

Maka, frugal living pun dimaknai sebagai gaya hidup yang cermat pada pengeluaran dan fokus pada sejumlah prioritas keuangan. Mereka yang menerapkan frugal living berarti memperhatikan dengan rinci tujuan keuangan mereka dan mengubah gaya hidup demi mencapai tujuan tersebut.

Lantas, mengapa gaya hidup yang patut ditiru ini justru menuai reaksi negatif bahkan tak sedikit yang merasa gamang alias insecure?

Boleh jadi ini lantaran berbagai kebiasaan orang Indonesia juga yang kerap takut ketinggalan tren. Masih ingat istilah FOMO alias fear of missing out? Ketika muncul satu tren tertentu, kita seolah tak mau ketinggalan harus ambil bagian dalam tren tersebut. Tak heran bila tiket konser yang dibanderol belasan juta ludes dalam waktu singkat, investasi dengan iming-iming kaya cepat tak pernah kehilangan peminat walaupun korban berjatuhan, atau ketika pandemi berakhir, kita seolah kembali pada kebiasaan lama di antaranya menyelenggarakan pernikahan dengan besar-besaran meski harus mengabaikan kemampuan finansial.

Sayangnya, ketika muncul tren yang menawarkan gaya hidup yang berlawanan dengan kebiasaan, justru direspons negatif. Gaya hidup hemat seperti tawaran frugal living boleh jadi bukan hal baru untuk masyarakat kita. Hanya, mungkin belum banyak yang menerapkan hingga batas maksimal. Padahal, tidak ada salahnya untuk mencoba belajar untuk bergaya hidup lebih hemat meski punya kemampuan keuangan untuk hidup mewah dan serbanyaman.

Gaya hidup hemat sejatinya tak hanya diterapkan ketika kita dalam kondisi susah saja. Alangkah baiknya jika gaya hidup seperti ini terus dipraktikkan karena kita tentu tidak tahu apa dan bagaimana jalan takdir kelak. Kita bisa jadi sudah merencanakan segala sesuatu dengan tepat dan rinci, namun tentunya Tuhan juga yang menentukan.

Bila gaya hidup hemat diterapkan dan sudah menjadi kebiasaan, tentu tidak perlu cemas untuk tetap menerapkan hal tersebut meski berbeda dengan lingkungan sekitar. Jika gaya hidup ala frugal living diterapkan, niscaya kita tidak perlu mendengar kabar duka cita tentang seorang ayah yang bunuh diri karena harus berutang dalam jumlah besar demi pernikahan anaknya. Atau, tidak juga perlu ada cerita tentang orang yang menghabiskan ratusan juta demi pernikahan anjingnya.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement