Senin 31 Jul 2023 15:27 WIB

Menonton Sepak Bola, Menonton Para Miliarder Terus Menambang Uang

Sepak bola modern adalah laga 11 miliarder vs 11 miliarder di atas lapangan hijau.

Bintang Paris Saint-Germain (PSG), Kylian Mbappe dan Neymar (kiri), termasuk para pesepak bola terkaya dan termahal di dunia.
Foto: AP Photo/Christophe Ena
Bintang Paris Saint-Germain (PSG), Kylian Mbappe dan Neymar (kiri), termasuk para pesepak bola terkaya dan termahal di dunia.

Oleh : Endro Yuwanto/Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Drama transfer bintang sepak bola Paris Saint-Germain (PSG), Kylian Mbappe, memasuki babak baru dengan munculnya tawaran menarik dari klub Al Hilal. Klub Arab Saudi itu kabarnya telah mengajukan penawaran resmi senilai 300 juta euro atau sekitar Rp 5 triliun kepada PSG untuk merekrut bintang muda Prancis tersebut.

Sejauh ini, kubu Mbappe masih menolak tawaran selangit dari Al Hilal dengan alasan sang striker lebih tertarik memperkuat Real Madrid musim depan. Padahal, jika itu terwujud, Mbappe akan menjadi pemain termahal di dunia, melampaui rekor yang saat ini dipegang rekan seklub Mbappe, Neymar.

Baca Juga

Neymar merupakan pemain yang ditebus dengan biaya termahal dalam sejarah sepak bola dunia. Pemain asal Brasil itu diboyong PSG dari Barcelona dengan biaya senilai 222 juta euro atau sekitar Rp 3,3 triliun pada 2017.

Setiap bursa transfer pemain dibuka, seperti pada musim panas 2023 ini, hampir seluruh klub top maupun kaya di dunia jor-joran mengelontorkan dana demi menggaet pesepak bola incarannya. Tak hanya klub-klub Eropa, klub Amerika Serikat dan kini Arab Saudi juga gencar membelanjakan uang dalam bursa transfer.

Di sisi lain, para pesepak bola profesional tentu diuntungkan dengan skema dunia sepak bola yang kian hari umumnya mencari prestasi tertinggi dengan cara instan. Memang, ada banyak keuntungan yang bisa didapat dari bisnis sepak bola profesional. Keuntungan tidak hanya berdampak ke pemilik klub, tetapi juga ke para pemain profesional.

Banyak perusahaan multinasional besar, oligarki, dan investor dari negara kaya penghasil minyak masuk sebagai pemilik klub. Masuknya investor besar itu membuat nilai transfer dan gaji para pesepak bola juga makin melejit.

Apalagi jika sang pemain tampil bagus untuk klub yang juga sudah besar. Ketenaran para pemain itu akan bertambah jika mampu menjadi bintang di klub seperti Chelsea, Real Madrid, Manchester City, PSG, Bayern Muenchen, Manchester United, hingga Liverpool. Popularitas ini juga akan menambah pundi-pundi penghasilan para pesepak bola  dari kesepakatan endorsement iklan-iklan perusahaan.

Menjadi hal yang lumrah pesepak bola yang saat ini berseliweran pindah klub memiliki nilai transfer dan penghasilan antara puluhan miliaran, ratusan miliar, hingga triliunan rupiah. Sebut saja Cristiano Ronaldo yang kini membela klub Arab Saudi Al-Nassr yang mengantongi sekitar Rp 3,2 triliun setiap tahun.

Masih ada deretan pesepak bola lainnya yang berpenghasilan 'wah' dalam setahun. Penghasilan Mbappe di PSG mencapi Rp 1,9 triliun. Rekan seklub Mbappe, Neymar, meraup Rp 1,38 triliun per tahun.

Ronaldo, Mbappe, Neymar, hanya semacam fenomena gunung es pesepak bola dengan penghasilan selangit. Di bawah daftar ketiganya, masih ada ratusan pesepak bola yang juga meraup penghasilan layaknya seorang miliarder.

Bisa dikatakan sepak bola saat ini, yang digemari mayoritas warga bumi, dimainkan oleh para miliarder. Saat menyaksikan laga PSG kontra Manchester City, misalnya, sebenarnya itu lebih mirip pertarungan 11 miliarder vs 11 miliarder di atas lapangan hijau.

Memang, sepak bola yang bisa dimainkan siapa saja dan di mana saja, bukan termasuk olahraga mahal. Namun, suka atau tidak suka, sepak bola kini bukan sekadar sportivitas, menang dan kalah. Bukan lagi sekadar persoalan bagaimana melahirkan tubuh dan jiwa yang sehat. Atau bukan semata-mata media relaksasi.

Di sepak bola, begitu banyak uang yang dipertaruhkan. Sepak bola menjadi medan pertarungan yang melibatkan banyak kepentingan terutama perebutan kekuasaan dan dominasi modal. Sepak bola adalah industri yang melahirkan miliarder-miliarder atau orang-orang kaya baru. Suporter, para fan, dan penonton tentu menjadi konsumen terbesar dari industri itu.

Lantaran sudah menjadi industri, kualitas pesepak bola pun kini bisa terukur dari nilai jual alias banderol masing-masing. Kian tinggi banderolnya, sosok pesepak bola itu akan diklaim berkualitas yang berimbas pada kualitas tim yang dibelanya.

Ambil contoh saat tim nasional (timnas) Indonesia menghadapi timnas Argentina di gelaran FIFA matchday, 19 Juni 2023 lalu, di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Senayan, Jakarta. Data transfermarkt.com mencatat nilai pasar (market value) 24 pemain Argentina yang mencicipi rumput SUGBK menembus 591 juta euro atau setara dengan Rp 9,71 triliun.

Lima pemain dengan nilai jual tertinggi di skuad juara Piala Dunia 2022 itu adalah Enzo Fernandez, yakni 85 juta euro atau sekitar Rp 1,4 triliun. Peringkat dua adalah Cristian Romero (60 juta euro), Julian Alvarez (50 juta euro), Alexis Mac Allister (42 juta euro), dan Rodrigo De Paul (40 juta euro).

Ini belum memasukkan nama megabintang Argentina, Lionel Messi, yang tidak bertanding melawan timnas Indonesia sehingga tidak dimasukkan dalam total market value timnas Argentina. Jika dimasukkan, nilai jual Messi sebesar 45 juta euro atau Rp 739,53 miliar.

Sebaliknya, nilai jual pemain Indonesia 'hanya' mencapai 8,43 juta euro atau Rp 138,46 miliar. Hanya satu penggawa timnas Indonesia, yakni pemain naturalisasi Sandy Walsh, yang punya nilai jual tinggi, mencapai 2 juta euro atau Rp 32,87 miliar. Untuk pemain kelahiran Indonesia, ada nama Marselino Ferdinan yang kini membela klub Belgia, KMSK Deinze. Nilai pasar Ferdinan 243 ribu euro atau sekitar Rp 3,9 miliar.

Hasilnya, di atas lapangan tak ada yang menyangkal kualitas timnas Argentina yang menang dengan skor 2-0 atas Indonesia.

Memang, nilai market pemain tak akan serta merta menghasilkan kesimpulan tim yang dibelanya berkualitas dan akan selalu memenangkan pertandingan. Namun, biasanya itulah yang terjadi di pertandingan sepak bola modern. Jika itu tak terjadi, akan dianggap sebagai kejutan.

Kita, para suporter, para fan, para penonton, sekaligus konsumen terbesar dari sepak bola, cukup menyaksikan dan menikmati saja para miliarder itu berpeluh keringat di lapangan hijau. Nikmati saja para penggerak industri itu adu skill demi menambah pundi-pundi uang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement