Rabu 26 Jul 2023 12:52 WIB

Belajar dari Bandara Kertajati dan Kemayoran

Jika penumpang sepi, maskapai mau tidak mau bakal berhenti terbang.

Calon penumpang berjalan menuju pesawat terbang di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/7/2023). Presiden Joko Widodo mengatakan penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara akan beralih ke Bandara Internasional Kertajati mulai OKtober 2023. Keberadaan dua bandara yang beroperasi ini untuk saling mendukung satu sama lain, serta optimal untuk menunjang dilakukannya penataan rute penerbangan di Jawa Barat.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Calon penumpang berjalan menuju pesawat terbang di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/7/2023). Presiden Joko Widodo mengatakan penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara akan beralih ke Bandara Internasional Kertajati mulai OKtober 2023. Keberadaan dua bandara yang beroperasi ini untuk saling mendukung satu sama lain, serta optimal untuk menunjang dilakukannya penataan rute penerbangan di Jawa Barat.

Oleh : Erik Purnama Putra, Redaktur Polhukam Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung ke Bandara Kertajati, Kabupaten Majalengka, memicu kontroversi. Rencananya, semua penerbangan pesawat bermesin jet mulai Oktober 2023, tidak boleh lagi mendarat di Bandara Husein Sastranegara.

Hanya pesawat jenis turboprop yang boleh mendarat di bandara milik TNI AU tersebut. Sehingga penggunaan Bandara Husein Sastranegara bagi penerbangan sipil benar-benar terbatas. Sepertinya, bandara tersebut nantinya hanya untuk penerbangan VVIP, militer, dan tamu-tamu penting.

Bahkan, Presiden Jokowi juga meminta PT Dirgantara Indonesia (DI) dan Pindad untuk dipindah ke Bandara Kertajati. Tujuannya agar aktivitas di bandara terbesar di Provinsi Jawa Barat (Jabar) tersebut bisa menggeliat. Tentu saja, pemindahan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal itu karena dua BUMN di bidang pertahanan itu memiliki banyak alat produksi. Ditambah faktor teknis dan butuh sarana pendukung membuat perintah itu sulit dieksekusi dalam waktu dekat.

Kembali lagi ke soal pemindahan penerbangan. Langkah itu membuat warga Kota Kembang yang paling dirugikan. Bagaimana tidak? Lokasi Bandara Kertajati terbilang cukup jauh dari ibu kota Provinsi Jabar tersebut. Jaraknya lebih 100 kilometer (km).

Beruntung, Tol Cileunyi–Sumedang–Dawuan (Cisumdawu) sudah beroperasi. Sehingga bagi pemilik kendaraan roda empat bisa menempuh perjalanan sekitar satu jam 30 menit dari Kota Bandung menuju Bandara Kertajati. Itu pun harus dengan kecepatan tinggi. Karena jika memperhitungkan dari rumah menuju tol hingga keluar tol ke arah Bandara Kertajati maka idealnya waktu tempuh bisa menjadi dua jam.

Memang warga sekitar Majalengka, Cirebon, Subang, dan sekitarnya pasti senang dengan pemindahan penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara ke Bandara Kertajati. Tapi, warga Bandung Raya jelas sangat dirugikan. Hal itu lantaran kini mereka harus repot-repot mempersiapkan waktu bepergian lebih lama jika ingin terbang. Belum lagi ongkos juga harus bertambah.

Padahal, pangsa pasar penerbangan terbesar di Bandara Husein Sastranegara selama ini adalah warga Bandung Raya. Mereka konsumen paling banyak yang memanfaatkan layanan penerbangan. Berbeda dengan masyarakat Majalengka hingga Subang, yang selama ini, aksesnya malah lebih mudah terbang ke Bandara Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, Banten. Dengan kebijakan penerbangan seperti itu, apakah benar warga Kota Bandung dan sekitarnya pasti pindah ke Kertajati? Atau malahan, mereka sekalian memilih terbang dari Bandara Soekarno-Hatta?

Di sinilah letak masalahnya. Selain persoalan akses, pilihan rute di Bandara Kertajati juga terbatas. Belum lagi, maskapai harus repot memikirkan pemindahan tenaga kerja, mencakup teknisi pesawat, pegawai di bandara, hingga penginapan pramugari dan pilot. Sehingga jika penerbangan terbatas dan maskapai malah dirugikan dengan kebijakan pemerintah tersebut maka rute ke Kertajati bakal tidak berkelanjutan.

Jika penumpang sepi, maskapai mau tidak mau bakal berhenti terbang. Hal itu sudah terbukti pada periode 2018-2019. Karena bagaimana pun juga, maskapai harus untung jika melayani penerbangan. Tidak bisa saja, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memerintahkan maskapai membuka rute, namun malah membuat rugi.

Masalah demi masalah itu harus dipikirkan pemerintah. Belum lagi, biaya operasional Bandara Kertajati juga terbilang mahal. Butuh miliaran rupiah untuk pemeliharaan bandara tersebut agar tetap terawat. Jika tidak ada penerbangan reguler dan hanya digunakan penerbangan umroh maka kerugian besar semakin ditanggung pemerintah.

Masalah Bandara Kertajati ini memang pelik. Selain menjadi beban pemerintahan Jokowi, pembangunan bandara senilai Rp 2,6 triliun membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa lokasi tidak dibangun di lokasi yang tak terlalu jauh dari Kota Bandung, yang memiliki pangsa pasar besar penerbangan.

Sebenarnya ada pembelajaran terbaik yang bisa diambil dari pemindahan Bandara Kemayoran yang ditutup pada 1985. Pemerintahan Orde Baru menganggap bandara di tengah Kota Jakarta sudah tidak layak lagi. Selain tak mampu menampung jumlah penumpang yang terus bertambah, pergerakan pesawat juga terbatas. Alhasil, Presiden Soeharto kala itu menetapkan pembangunan bandara baru di perbatasan Jakarta-Tangerang.

Lokasinya hanya sekitar 30 km. Jika jalan tol lancar maka tidak sampai 30 menit perjalanan. Namun jika macet, bisa dua jam atau lebih. Namun, lokasi pemindahan bandara pengganti tidak jauh dari pusat aktivitas masyarakat. Sehingga penutupan Bandara Kemayoran dan beroperasinya Bandara Cengkareng pada 1985 bisa berjalan mulus. Selain akses mudah, juga jaraknya tidak terlalu jauh.

Hal inilah yang absen dari Bandara Kertajati...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement