Jumat 07 Jul 2023 19:53 WIB

Ramai Fenomena Aphelion di Media Sosial, Ini Pernyataan BMKG

Cuaca dingin di bulan Juli ramai diperbincangkan sebagai fenomena Aphelion.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Nora Azizah
Warga dengan mengunakan payung menerjang hujan (Foto: ilustrasi cuaca dingin)
Foto: Republika/Prayogi
Warga dengan mengunakan payung menerjang hujan (Foto: ilustrasi cuaca dingin)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyoroti ramainya berbagai pesan di media sosial yang menyinggung dinginnya cuaca Indonesia belakangan karena jarak Bumi dekat dengan matahari dalam titik terjauh saat periode revolusi atau Aphelion. BMKG menyebut jika itu informasi keliru.

“Dijelaskan bahwa saat berada di titik Aphelion, cuaca di bumi akan cenderung lebih dingin dibanding periode lainnya. Sementara itu kondisi cuaca dingin yang terjadi di wilayah Indonesia pada periode bulan Juli tidak terkait dengan fenomena Aphelion,” tulis BMKG dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Jumat (7/7/2023).

Baca Juga

BMKG menyebut, kabar di media sosial yang menyebar dengan cepat dan keliru itu meresahkan. Apalagi, ketika menyambungkan fenomena Aphelion yang merupakan fenomena astronomis dan terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. 

“Saat Aphelion, posisi matahari memang berada pada titik jarak terjauh dari bumi. Kendati begitu, kondisi tersebut tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer atau cuaca di permukaan bumi,” jelas BMKG.

Dikatakan, fenomena suhu dingin sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli-September). Saat ini, wilayah Pulau Jawa hingga NTT berada pada musim kemarau dan ditandai pergerakan angin dari arah timur-tenggara yang berasal dari Benua Australia. 

“Pada bulan Juli, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia,” tulis BMKG.

Fenomena itu, dijelaskan BMKG bertiup menuju wilayah Indonesia melewati perairan Samudra Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut yang juga relatif lebih dingin. Sehingga, hal itu mengakibatkan suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa (Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) terasa juga lebih dingin.

“Selain dampak angin dari Australia, berkurangnya awan dan hujan di Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara turut berpengaruh ke suhu yang dingin di malam hari. Sebab, tidak adanya uap air dan air menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer,” katanya.

Tak sampai di sana, langit yang cenderung bersih awannya juga dikatakan menyebabkan panas radiasi balik gelombang panjang ini langsung dilepas ke atmosfer luar. Sehingga, membuat udara dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi hari. Hal ini yang kemudian membuat udara terasa lebih dingin terutama pada malam hari.

“Fenomena ini merupakan hal yang biasa terjadi tiap tahun, bahkan hal ini pula yang nanti dapat menyebabkan beberapa tempat seperti di Dieng dan dataran tinggi atau wilayah pegunungan lainnya, berpotensi terjadi embun es (embun upas) yang dikira salju oleh sebagian orang,” tulis BMKG.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement