Senin 15 May 2023 16:42 WIB

Petani Tebu Usul Harga Gula Naik Jadi Rp 15 Ribu per Kg

Penyesuaian harga karena biaya produksi di petani pun sudah naik.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Buruh angkut menaikkan tebu ke atas truk di Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (10/8/2022). Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani menjadi Rp 15 ribu per kilogram (kg) dari yang saat ini berlaku Rp 11.500 per kg.
Foto: ANTARA/Syaiful Arif
Buruh angkut menaikkan tebu ke atas truk di Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (10/8/2022). Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani menjadi Rp 15 ribu per kilogram (kg) dari yang saat ini berlaku Rp 11.500 per kg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan penyesuaian harga pembelian gula di tingkat petani menjadi Rp 15 ribu per kilogram (kg) dari yang saat ini berlaku Rp 11.500 per kg.

Sekretaris Jenderal APTRI, Nur Khabsyin, menjelaskan, usulan kenaikan tersebut bukan tanpa alasan. Penyesuaian harga pembelian di tingkat petani tersebut telah dipertimbangkan Biaya Pokok Produksi (BPP) gula dari sejumlah komponen yang mengalami kenaikan.

Baca Juga

"Wajar, jika harga naik dikarenakan BPP gula juga naik, antara lain kenaikan biaya akibat pemakaian pupuk non subsidi, upah tenaga kerja, dan biaya transportasi," kata Khabsyin dalam keterangan resminya dikutip Republika, Senin (15/5/2023).

Selain itu, ia menambahkan, penyesuaian harga di tingkat petani perlu dilakukan karena adanya penurunan produksi tebu. Ia menyebut, rata-rata penurunan produksi tebu mencapai sekitar 20 persen. Salah satu penyebabnya, menurut Khabsyin, akibat kemarau badai El Nino saat ini.

Belum lagi, adanya permasalahan di pemupukan yang dinilai membuat aktivitas tanam jadi terkendala sehingga membuat penurunan produksi menjadi semakin sulit dihindari. "Produksi tebu terus menurun dikarenakan pemupukan yang tidak optimal, di mana pupuk semakin mahal dan langka sehingga, banyak petani yang memupuk tebu tidak tepat waktu. Selain itu, dosis pupuk ini tidak bisa maksimal," jelasnya.

Ia mencontohkan, satu hektare kebun tebu idealnya membutuhkan rata-rata minimal satu ton hingga 1,3 ton pupuk. Namun, karena pupuk langka dan mahal, petani hanya bisa menyediakan 700 kilogram pupuk untuk satu hektare. Adapun harga pupuk non subsidi empat kali lipat dari pupuk subsidi.

Keluhan soal pupuk juga disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional APTRI, Soemitro Samadikoen. Ia mengatakan, petani tebu saat ini nyaris tidak menggunakan pupuk bersubsidi.

"Terlepas dari susah didapat, pemerintah juga sudah mengurangi porsi pupuk subsidi bagi petani tebu," kata dia.

Selain harga acuan di tingkat petani, salah satu yang menjadi sorotan adalah harga acuan pembelian gula di tingkat pengecer atau konsumen. Menurutnya, harga acuan itu sebaiknya dihapus.

"Kami minta untuk dihapus, jadi nggak perlu lagi ada HAP (harga acuan pembelian) atau HET (harga eceran tertinggi) dengan alasan gula petani ini bukan milik negara ya. Ini milik petani, jadi ini nggak perlu ada HAP atau HET biar harga itu sesuai dengan pasar. Sehingga petani bisa menikmati keuntungan dan tidak terbelenggu dengan HAP atau HET. Ini usulan kami," kata dia.

Menurutnya, komoditas gula yang sebagian besar diproduksi oleh petani dan industri tak banyak mendapat dukungan pemerintah sehingga harga jualnya pun tak perlu diintervensi. Ini berbeda dengan komoditas lainnya, seperti BBM dan pupuk subsidi yang biaya produksinya didukung atau disubsidi oleh pemerintah.

Terpisah, Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo, juga menilai butuh adanya penyesuaian HPP di tingkat petani.

"Memang harus kita sesuaikan agar terjadinya keseimbangan baru. Ada beberapa biaya produksi pembentuk harga yang naik, sehingga wajar bila ada penyesuaian," tutur dia.

Adapun usulan kenaikan itu, lanjut dia, akan dibawa dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) terkait harga pembelian dan penjualan gula oleh Badan Pangan Nasional.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement