Senin 13 Feb 2023 16:33 WIB

Potensi Swasta Belum Tergali Optimal Dukung Penurunan Stunting Jateng

Perlu orang tua asuh anak stunting dengan mengerahkan mitra swasta.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meletakkan harapan program penurunan angka stunting kepada Provinsi Jawa Tengah. Selain sebagai salah satu provinsi dengan jumlah (populasi) penduduk banyak, sejumlah capaian program penanganan problem kesehatan ibu dan anak di provinsi ini dinilai cukup positif.   

Kepala BKKBN RI, dr Hasto Wardoyo mengungkapkan, Jateng harus menjadi  ‘bandul’ nasional, karena jumlah penduduknya yang termasuk besar. “Maka jika penurunan angka stuntingnya signifikan, maka akan mampu memberikan daya ungkit secara nasional,” katanya, di sela acara Rakerda Program Bangga Kencana dan Percepatan Penanganan Stunting Provinsi Jateng 2023’ di Hotel Santika Premiere Semarang, Kota Semarang, Senin (13/2/2023).

Hasto menyampaikan, di Jateng, jumlah bayi yang lahir tiap tahun masih mencapai 500 ribu lebih sedikit, sementara orang yang menikah bisa mencapai 200 ribu lebih sedikit per tahun. Dari 200 ribu lebih sedikit yang menikah per tahun ini, 80 pesen hamil di tahun pernikahan pertamanya.

Sehingga sekitar 160 ribu -180 ribu orang yang menikah di Jateng hamil di tahun pertama. “Kalau angka stuntingnya 20 persen, jika orang yang menikah per tahun diambil angka terendah 160 ribu, berarti ada 3.500 yang harus kita perhatikan betul. Makanya bupati/wali kota hadir supaya mereka bisa memetakan siapa saja yang hamil,” lanjut dia.

BKKBN, tegas Hasto, telah mendeklarasikan mulai 1 Maret 2023 ini, siapa yang mau menikah harus bisa menujukkan sertifikat pranikah (Elsimil/aplikasi siap nikah dan hamil). Kalau tidak/belum diperiksa, maka jangan dinikahkan.

Karena pemeriksaan pranikah ini  mudah. Sebab di Jateng, semua layanan puskesmas gratis baik untuk pemeriksaan HB, lingkar lengan atas, tinggi badan, dan berat badan. “Sehingga apa beratnya periksa itu sebelum menikah,” tegasnya.

Makanya program-program di Jateng cukup bagus, seperti Jateng Gayeng Nginceng Wong Meteng, Jo Kawin Bocah, jangan sampai ada Janda Usia Sekolah (JUS), dan beberapa program lainnya. Sehingga di Jateng, per 1.000 penduduk yang hamil di usia 15 – 19 tahun hanya ada 23 orang.

Ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Jawa Timur yang mencapai 31 per 1.000 orang atau Jawa Barat. AKI dibandingkan Jabar dan Jatim, juga masih paling rendah. “Kalau dengan DIY atau DKI Jakarta ‘ojo dibanding-bandingke’, karena keduanya merupakan daerah khusus pasti lebih rendah, demikian pula Bali," jelasnya.

Maka, ia menilai, rakerda yang dilaksanakan ini akan membahas berbagai strategi untuk mempercepat penurunan angka stunting di Jateng. Hasto juga menyampaikan, beberapa daerah di Jawa Tengah masih membutuhkan perhatian karena angka stunting, seperti Kabupaten Brebes, kemudian Grobogan dan Temanggung yang mengalami kenaikan.

Lebih lanjut ia juga mengapresiasi peran akademisi dalam berperan membantu penurunan angka stunting di Jateng. Menurutnya, akademisi/kampus dalam mendukung penurunan stunting cukup bagus.

Beberapa perguruan tinggi telah melaksanakan program KKN Tematik Stunting dan di era Kampus Merdeka pendampingan kepada kabupaten/kota oleh perguruan tinggi juga sudah berjalan.

Hanya saja, seperti yang disampaikan gubernur Jateng, masih butuh peran swasta. Misalnya perlu bapak asuh atau orang tua asuh anak stunting dengan mengerahkan mitra swasta.

“Karena yang belum optimal digali adalah peran serta swasta untuk hadir sebagai volunteer untuk memberikan sumbangan pada kegiatan penurunan angka stunting ini,” tambahnya.

Dalam acara ini, kepala BKKBN juga menyerahkan anggaran Dana Alokasi Khusus untuk penanganan stunting kepada 35 kabupaten/kota total mencapai lebih dari Rp 100 miliar.

Jumlahnya yang diberikan kepada daerah, disesuaikan dengan jumlah pendudukanya. Sehingga terbesar ada yang mendapatkan Rp 18 miliar dan terendah seperti Kota Salatiga dapatnya di bawah 10 miliar.

“Masing-masing sudah disampaikan secara simbolis supaya penyerapannya bagus. Mulai sekarang harus diserap untuk mempercepat penanganan stunting,” tegas Hasto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement