Jumat 06 Jan 2023 08:27 WIB

Wacana Pembedaan Tarif KRL, Sosiolog: Hati-Hati

Kelas sosial dan status ekonomi merupakan isu yang sensitif di Indonesia.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Fernan Rahadi
Sejumlah penumpang menunggu KRL melintas di Stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat (13/5/2022). Kementerian Perhubungan berencana menyesuaikan tarif KRL berdasarkan status ekonomi penumpang.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah penumpang menunggu KRL melintas di Stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat (13/5/2022). Kementerian Perhubungan berencana menyesuaikan tarif KRL berdasarkan status ekonomi penumpang.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menanggapi rencana Kementerian Perhubungan untuk menyesuaikan tarif kereta rel listrik (KRL) berdasarkan status ekonomi penumpang. Bagong berpendapat, penggolongan masyarakat berdasarkan kelas ekonomi merupakan hal biasa dalam penentuan kebijakan publik. Terlebih kebijakan yang berkaitan dengan penyesuaian subsidi.

Namun demikian, kata Bagong, pemerintah cenderung abai dengan realitas bahwa kelas sosial dan status ekonomi merupakan isu yang sensitif di Indonesia. "Jadi, kalau dibedakan begitu dengan penggunaan istilah si kaya dan si miskin, mungkin saja bisa menyakiti hati kalangan tertentu," kata Bagong, Jumat (6/1/2023).

Selain itu, lanjut Bagong, banyak pihak yang cenderung menyangsikan wacana perubahan tarif KRL tersebut. Tidak hanya dari efektivitasnya, tetapi juga dari aspek sosial. Seperti potensi munculnya konflik horizontal di masyarakat. Meskipun demikian, Bagong meyakini kebijakan tersebut tidak berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.

Bagong mengingatkan, dengan status ekonomi yang dimiliki, kelas menengah ke atas sudah seharusnya memahami tujuan dari kebijakan tersebut. Pemahaman tersebut yang diharapkan dapat menekan terjadinya konflik dan gesekan di masyarakat.

"Kalau memicu konflik saya kira tidak. Saya kira mereka yang dari golongan kelas menengah ke atas itu bukan pihak yang menuntut apa yang telah dibayarkan. Artinya mereka juga harus tahu dan paham arah tujuan kebijakan ini," ujarnya.

Bagong mengingatkan, pemerintah justru perlu waspada terhadap munculnya reaksi berbeda dari golongan masyarakat dengan status ekonomi rentan hingga miskin. Penggolongan masyarakat miskin secara eksplisit dikhawatirkan akan menimbulkan rasa sakit hati.

"Mungkin harus dicari istilah lain. Atau mungkin juga pembuatan tiket khusus sebagai penanda bagi mereka yang mampu dan kurang mampu," terangnya.

Menurut Bagong, penggunaan istilah ‘berdasi’, ‘si miskin’ dan ‘si kaya’ merupakan hal yang tidak perlu. Tidak heran apabila kebijakan itu menimbulkan berbagai reaksi lantaran penggunaan terminologi yang kurang tepat. "Menurut saya, ini perkara terminologi saja," kata dia.

Sebagai tambahan, dosen kelahiran Nganjuk itu menuturkan bahwa pemerintah hendaknya berhati-hati dalam memilih terminologi yang lebih tepat. Pemerintah perlu lebih bijak mengutarakan maksud dan tujuannya agar tidak memicu kegaduhan masyarakat.

Sebelumnya, Kementerian Perhubungan berencana menyesuaikan tarif KRL berdasarkan status ekonomi penumpang. Penumpang dengan status kaya harus membayar tarif normal, sementara penumpang dengan status ekonomi rentan hingga miskin akan tetap mendapatkan subsidi. Meski seolah-olah memihak masyarakat kelas bawah, tetapi kebijakan tersebut menuai pro-kontra dari sejumlah kalangan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement