Senin 19 Dec 2022 00:23 WIB

Perjuangan Istri Gus Dur, Jual Es Lilin dan Kacang

Hj Sinta Nuriyah menceritakan perjuangannya saat awal-awal menikah dengan Gus Dur.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Istri Alm. Abdurrahman Wahid, Shinta Nuriyah Wahid.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Istri Alm. Abdurrahman Wahid, Shinta Nuriyah Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Istri almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Nyai Hj Sinta Nuriyah menceritakan perjuangannya saat awal-awal menikah dengan Gus Dur. Keduanya menikah pada 11 Juli 1968 atau 16 Rabiul Akhir 1388.

Setelah Gus Dur pulang dari luar negeri, kakek Gus Dur yang bernama KH Bisri Syansuri kemudian memberikan sebidang tanah sebagai tempat tinggal. Karena, menurut Nyai Sinta, Mbah Bisri yang juga termasuk salah satu pendiri NU, ingin Gus Dur mengabdi untuk NU.  

Baca Juga

“Karena Mbah Bisri Sansuri menginginkan Gus Dur itu nantinya ikut mengelola NU dengan sebaik-baiknya,” ujar Nyai Sinta dalam acara Haul ke-13 Gus Dur yang digelar cara hybrid di Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Sabtu (17/12/2022) malam.

Menurut Nyai Sinta, Mbah Bisri sangat serius mendidik Gus Dur untuk menjadi Katib Aam PBNU yang baik, jujur, serta mumpuni. Di samping itu, menurut dia, Gus Dur juga ikut mengelola Pondok Pesantren Tebuireng. Karena itu, saat itu Gus Dur tidak memiliki waktu yang cukup untuk keluarganya.

“Jadi karena beliau juga sibuk mengelola Pondok Pesantren Tebuireng, kemudian harus belajar kepada Mbah Bisri, otomatis Gus Dur kehabisan waktu, tidak punya waktu untuk keluarganya,” ucapnya.  

Sementara, dari tahun ke tahun, anak Gus Dur terus bertambah. Karena tak punya waktu untuk mengurus rumah tangga, akhirnya Nyai Sinta pun berusaha untuk membantu suaminya. Ia ikut mengajar di Universitas Hasyim Asy’ari dan Universitas Darul Ulum, Jombang.

Namun, pada saat itu gaji yang diterima Nyai Sinta juga tidak banyak, hanya cukup untuk transportasi. Sementara kebutuhan keluarga mereka semakin bertambah. “Untuk itu, maka saya memutuskan untuk membantu belanja keluarga dengan menjual kacang goreng dan es lilin,” kata Nyai Sinta.

Nyai Sinta merasa bahwa ketika suaminya sibuk, sementara keluarga harus tetap dan terus berjalan, anak-anak harus terus dibesarkan, disekolahkan agar menjadi orang pandai dan berguna bagi bangsa, agama, dan negara, maka sebagai istri ia tidak boleh menyerah begitu saja.

“Saya harus bangkit untuk merebut semuanya itu, menyelamatkan semuanya itu. Oleh karena itu, saya berani untuk setiap malam menjual kacang yang digoreng dengna pasir,” jelas Nyai Sinta.

“Dan lalu menjual es lilin yang akan dibawa anak-anak kampung untuk dijajakan ke kampung-kampung atau ke tempat-tempat yang lain, itu yang saya lakukan pada waktu itu,” imbuhnya.

Karena itu, Nya Sinta juga berpesan agar tidak merasa rendah dalam mengerjakan pekerjaan apapun, selagi pekerjaan itu halal dan didapatkan dari hasil keringat sendiri. “Jadi jangan kok rendah sekali ya, masak harus jualan kacang, jualan es, terus minder atau merasa terhina, ngggak. Tidak ada pekerjaan yang hina di hadapan Tuhan,” tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement