Jumat 18 Nov 2022 22:36 WIB

Soal Pulau Buatan China, PII Minta RI Ajukan Nota Protes

Langkah China dinilai ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Asia Tenggara

Peta klaim Laut Cina Selatan
Foto: Wikipedia
Peta klaim Laut Cina Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta pemerintah RI dan pemerintah negara-negara Asia Tenggara lainnya untuk mengajukan nota protes keras kepada China. Wakil Bendahara Umum DPP PII Furqan Raka mengungkapkan, China telah membangun pulau buatan dan pangkalan militer sepihak, di Laut China Selatan.

Pernyataan Furqan dikeluarkan setelah seorang jurnalis foto Filipina, Ezra Acayan, membagikan penampakan pangkalan tentara Tiongkok yang telah berdiri di laut sengketa tersebut melalui media sosial pribadinya. Jurnalis ini membuat cuitan terkait suasana terbaru di Laut China Selatan, yang kini terlihat terdapat pulau-pulau buatan China. Pemberitaan ini sebelumnya telah dimuat oleh Radio Free Asia (RFA) yang merujuk laporan televisi China, CGTN.

Dalam laporannya, CGTN menyebut sebuah kapal rumah sakit Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) bernama Youhao, baru menyelesaikan perjalanan 18 harinya dari kawasan tersebut, dengan misi memberikan layanan medis kepada lebih dari 5.000 orang tentara.

Menurut Furqan, langkah China merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia.“Perlu diingt kembali, Beijing mengklaim hampir 90% kepemilikan Laut China Selatan yang tentunya membuat Tiongkok harus berhadapan dengan sejumlah negara termasuk Asia Tenggara, seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, Vietnam termasuk Indonesia di Laut Natura Utara,” kata Furqan Raka lewat keterangan tertulis, Jum’at, (18/11/2022).

Terlebih, dia menjelaskan, pembangunan pangkalan militer di pulau buatan China, dekat dengan Palawan Filiphina yang jaraknya hanya 1.295 kilometer dari Indonesia. Menurut Furqan, beberapa analis China menggambarkan pangkalan ini memiliki 20 pos terdepan di Kepulauan Paracel, di mana Pulau Woody adalah yang terbesar. Sementara, tujuh di Kepulauan Spratly sebagai ‘kapal induk yang tidak dapat tenggelam’.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ezra Acayan (@ezra_acayan)

PLA telah memasang sensor berteknologi tinggi di Cuarteron, Fiery Cross, Gaven, Hughes, Johnson, Mischief, dan Subi Reefs. Beijing juga memasang alt citra satelit dan udara dari fasilitas ini, termasuk infrastruktur penunjang militer seperti landasan pacu, tempat berlabuh, hanggar, barak, radar, senjata angkatan laut, dan pertahanan udara.

Selain sistem peperangan langsung dan elektronik berbasis darat bergerak, PLA mendirikan sejumlah fasilitas intelijen sinyal tetap yang mencakup situs pencari arah frekuensi tinggi [Mischief Reef] dan kemungkinan situs untuk memantau komunikasi satelit asing [Fiery Cross Reef]. “Lucunya, China pernah mengklaim bahwa fasilitas di Kepulauan Spratly dibangun bukan untuk kepentingan mereka semata namun bagi negara-negara lainnya. Namun ketika ada pesawat atau kapal mendekat khususnya dalam keadaan darurat, Tiongkok jelas melarangnya,” jelas Furqan Raka.

Meski demikian, dia mengingatkan, ada konsekuensi besar yang harus ditanggung Beijing, setelah banyak peneliti dan ahli geomorfologis, yang mempertanyakan fisibiliti studies pulau buatan Tiongkok. Profesor Collin Koh, Rekan Peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies Singapura, yang menyebut pulau-pulau buatan ini dibangun dengan tergesa-gesa. “Penilaian dampak lingkungan dan studi kelayakan struktural yang sepatutnya wajib hukumnya, disingkirkan untuk mempercepat proyek, sehingga secara  geomorfologis, pulau buatan ini tidak stabil,” kata Furqan Raka.

Dari hasil riset, kajian dan penelitian terhadap kondisi alam Laut Cina Selatan, penetrasi difusi klorida dalam beton biasa sekitar 1-2 kali lipat lebih besar daripada daerah pendinginan sedang seperti Eropa. Kondisi alam ini membuat Beijing terkunci dalam pertempuran abadi melawan korosi laut di Laut Cina Selatan, ditambah lagi temperatur tinggi, kelembapan ekstrem, kabut garam tinggi, dan radiasi matahari secara signifikan mempercepat laju korosi.

Pemerintah China sebelumnya menyatakan, pihaknya memiliki hak untuk mengembangkan pulau-pulau Laut China Selatan sesuai keinginannya setelah tuduhan AS bahwa mereka telah sepenuhnya memiliterisasi setidaknya tiga dari beberapa pulau yang dibangunnya di jalur air yang disengketakan yang melanggar komitmen sebelumnya.

Dilansir dari APNews, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menegaskan, pengerahan fasilitas pertahanan nasional yang diperlukan China di wilayahnya sendiri adalah hak setiap negara berdaulat. “Sejalan dengan hukum internasional yang tidak tercela,”kata dia.

Menurut Wang, Kegiatan militer AS di daerah tersebut bertujuan untuk membuat provokasi. “Itu secara serius mengancam kedaulatan dan keamanan negara-negara pesisir serta merusak ketertiban dan keselamatan navigasi di Laut China Selatan,”jelas dia.

https://apnews.com/article/china-beijing-international-law-south-china-sea-4370828e295d2eec9a4804bba9940273

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement