Ahad 06 Nov 2022 05:34 WIB

Polri dan Ancaman Cancel Culture

Polri berupaya merebut kembali kepercayaan publik.

Jika tidak berbenah kepercayaan terhadap Polri akan semakin turun. Foto ilustrasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Foto: Dok. Polri
Jika tidak berbenah kepercayaan terhadap Polri akan semakin turun. Foto ilustrasi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Dua lembaga survei, yakni Indikator Politik Indonesia dan Charta Politika mengabarkan tingkat kepercayaan publik kepada Polri turun setelah kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang melibatkan mantan kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo. Dua survei yang dilakukan pada Agustus hingga September oleh lembaga survei berbeda ini menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap Polri turun hingga di bawah 60 persen.

Hasil survei ini mengingatkan pada akhir 2021 ketika Indikator merilis hasil survei yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik ke Polri mencapai titik tertinggi hingga mencapai 80,2 persen. Bahkan, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) sebelum kasus pembunuhan Brigadir J masih menempatkan Polri tertinggi dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lain.

Tingkat kepercayaan yang turun sudah selayaknya direspons Polri. Suara-suara mengkritik, bahkan menghina, kepolisian makin terdengar kencang, setidaknya di media sosial.

Jangan lupa juga pengguna media sosial mengenal cancel culture atau budaya beramai-ramai memboikot atau menolak keberadaan sebuah entitas. Kondisi di mana kepolisian dianggap tidak ada atau tidak perlu ada tentu tidak baik bagi penegakan hukum ke depan di negeri ini.

Kepolisian merupakan garda terdepan penegakan hukum karena sebagai pihak pertama yang menerima laporan dari masyarakat. Berdasarkan berita-berita di daerah, Polri mulai berupaya mengembalikan kepercayaan publik melalui program Quick Wins Presisi Polri. Program dari Mabes Polri ini meliputi 10 kegiatan untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Yakni, pengembangan SDM unggul, perbaikan interaksi Polri dengan masyarakat di jalan atau area publik, optimalisasi pelayanan publik, optimalisasi pemolisian masyarakat, serta manajemen media. Selanjutnya, penguatan kerja sama dengan pihak eksternal, penerapan budaya integritas dan antikorupsi, respons problem akut serta mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Sebagai penegak hukum yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, Polri berupaya memperbaiki interaksinya dengan masyarakat baik ketika berhadapan di jalan, lingkungan, dan media sosial. Di jalan, hal yang kerap dikeluhkan warga(net) adalah pemberian nomor khusus dan arogansi mobil dinas polisi.

Polri juga melakukan pelatihan tentang manajemen media kepada jajarannya di daerah, termasuk produksi konten. Ini tentu penting bagi kepolisian di daerah untuk menginformasikan kondisi wilayahnya seperti kemacetan, pohon tumbang, kecelakaan lalu lintas, dan kebakaran.

Namun, media sosial bukanlah medium satu arah, melainkan dua arah. Kepolisian tidak bisa sekadar memberikan informasi, tetapi tidak membalas laporan. Karena itu, Polri mengarahkan agar akun media sosial Polres dan Polsek juga menjadi forum laporan alias responsif terhadap laporan masyarakat. Tentu, anggota tidak sekadar membalas di media sosial, tetapi menindaklanjutinya di dunia nyata.

Di lingkungan, Polri melibatkan Bhabinkamtibmas untuk meraih kepercayaan publik. Ini mengingatkan saya pada berita beberapa hari lalu tentang polisi mengajar mengaji di perkampungan di Sorong, Papua. Namanya Aipda Choiruddin.

Polri juga mewajibkan kepala kepolisian resor (Polres) di Indonesia membagikan nomor Whatsapp-nya ke publik. Sebab, hasil survei internal Polri menyatakan publik lebih senang mengirimkan pesan melalui Whatsapp langsung ke kapolres dibanding lapor ke polres.

Selain itu, jika kapolres membagikan nomor whatsapp-nya maka ada efek pencegahan penyimpangan anggota. Anggota kepolisian akan berpikir dua kali untuk melakukan penyimpangan karena warga bisa langsung melapor ke atasannya.

Dalam melaksanakan program Quick Wins Presisi 2022, Polri mewajibkan anggotanya melakukan kegiatan secara substansi dan bukan hanya sekadar laporan administratif. Hal yang juga harus dilakukan: meminimalisasi penyimpangan anggota karena nila setitik susu sebelanga.

Artinya, niat Polri memunculkan tagar polisi berbenah diri justru bisa tercoreng dengan adanya penyimpangan anggota. Tentu saja, Polri perlu melakukan pengawasan melekat terhadap anggotanya sembari berupaya membangun budaya integritas dan antikorupsi sesuai program Quick Wins Presisi.

Berbagai upaya melalui Quick Wins Presisi ini diharapkan meningkatkan kinerja anggota kepolisian yang pada gilirannya akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri.

Hal yang juga harus dipikirkan oleh Polri adalah ‘apa selanjutnya setelah Quick Wins Presisi berakhir pada 10 Desember 2022?’ Sebab, upaya membangun kepercayaan publik yang berkesinambungan perlu terus dilakukan atau tidak berhenti ketika Quick Wins Presisi Polri berakhir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement