Rabu 24 Aug 2022 22:00 WIB

OJK Sebut Rp 294 Triliun Dana Debitur Perbankan Sudah Masuk Ketegori Hijau

Per Juni 2022, ada 100 debitur dengan total Rp1.065 T yang masuk taksonomi hijau.

Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan menerima laporan 10 debitur besar dari Bank Buku III dan IV dengan ditemukan per Juni 2022, ada 100 debitur dengan total Rp1.065 triliun yang masuk taksonomi hijau, termasuk Rp294 triliun masuk kategori hijau. Dilansir dari Antara, Rabu (24/8/2022), pengawas Eksekutif Senior Otoritas Jasa Keuangan Uli Agustina dalam webinar Katadata SAFE 2022 di Jakarta, mengatakan, laporan itu merupakan pilot project yang diterapkan OJK guna mengecek portofolio keuangan hijau perbankan.

"Suatu hal yang bagus dari laporan tersebut, ternyata 20-30 persen sudah masuk kategori hijau. Ini masih taksonomi hijau 1.0 atau tahapan pertama, tahapan ke depan dengan adanya berbagai masukan dari pelaku usaha dan debitur, OJK akan kembangkan secara berkelanjutan sehingga bisa menyasar sektor yang lebih banyak lagi," kata Uli.

Baca Juga

Uli menambahkan, OJK akan melanjutkan pilot project dengan 100 debitur menjadi 340 debitur pada 2023. Selain itu, ujar dia, OJK juga mengembangkan sistem pelaporan daring yaitu Apolo. Sistem ini adalah pengumpulan informasi yang dilakukan OJK untuk mempermudah pengawasan.

"Pembiayaan proyek hijau memerlukan modal besar dan juga pengembalian yang lama sehingga perbankan kadang sangat memikirkan risiko dan juga mitigasi risiko. Karena perbankan itu kan lembaga intermediary (perantara) dengan dana dari masyarakat sehingga selalu mempertimbangkan risiko," katanya.

OJK, ujar dia, mendorong perbankan agar terus meningkatkan pembiayaan di sektor keuangan hijau. Pembicara lainnya Chief Sustainability Officer DBS Group Helge Muenkel mengatakan Bank DBS akan memublikasi laporan dalam waktu dekat kepada publik tentang upaya yang dilakukan Bank DBS untuk mencapai komitmen emisi nol.

"DBS tidak hanya fokus pada perubahan iklim tapi juga ke hal lain terkait keberlanjutan. Kami melakukan kolaborasi dengan klien contohnya memberitahu klien bahwa bisnisnya belum menerapkan net zero. Kami juga mengupayakan agar klien kami ikut menerapkan praktik yang berkelanjutan," katanya.

Helge menambahkan DBS mengapresiasi target pemerintah Indonesia mencapai target emisi nol pada 2060. Namun, Indonesia masih belum berada di jalur yang tepat untuk bisa mencapai target tersebut.

Karena itu, DBS menekankan empat elemen yang harus menjadi fokus pemerintah Indonesia, antara lain kepastian kebijakan. Kata Helge, sektor industri menanti kebijakan pemerintah terkait pajak karbon dan lain-lain sehingga bisa langsung mengimplementasikan dan menyiapkan pendanaan.

Kedua adalah pendanaan campuran. Menurut Helge, Menkeu Sri Mulyani mengatakan Indonesia perlu 250 miliar dolar Amerika untuk mencapai target emisi nol sehingga perlu pendanaan campuran untuk bisa meraih pendanaan yang dibutuhkan.

Ketiga adalah inovasi. Helge memberi contoh, DBS membuat platform digital yang memungkinkan petani kecil di Indonesia untuk mendapatkan karet.

Elemen terakhir adalah kolaborasi multisektor termasuk di pemerintahan. Menurut Helge, tidak cukup hanya dengan membuat mobil listrik tapi bisa dimulai dari pembuatan baterai mobil listrik.

Karena itu, masih menurut dia, perlu pabrik nikel yang bisa menyediakan bateri mobil listrik. Selain itu, perlu mekanik yang paham dengan mobil listrik sehingga bisa memperbaiki apabila terjadi kerusakan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement