Senin 11 Apr 2022 22:13 WIB

LPEI Bantu UMKM Batik Tembus Pasar Ekspor di Belanda dan Australia

Program CPNE memiliki manfaat besar pelaku UMKM

Rep: Novita Intan/ Red: Gita Amanda
LPEI melalui program coaching program for new exporters (CPNE) memberikan pelatihan bagi pelaku UMKM. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Oky Lukmansyah
LPEI melalui program coaching program for new exporters (CPNE) memberikan pelatihan bagi pelaku UMKM. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank berupaya mengembangkan pelaku UMKM di Indonesia. LPEI melalui program coaching program for new exporters (CPNE) memberikan pelatihan bagi pelaku UMKM, salah satunya Eni Anjayani, pengusaha UMKM yang berdomisili di Yogyakarta. 

Sekretaris Perusahaan LPEI, Chesna F Anwar mengatakan mengikuti program CPNE memiliki manfaat besar pelaku UMKM terlebih untuk membantu pemilihan jenis produk yang produksi sesuai dengan demand, akses pasar, menghitung harga jual dan belajar proses dari pengiriman produk hingga sampai ke negara tujuan. 

“Program CPNE disiapkan bagi UKM berorientasi ekspor yang ingin berkembang  menjadi eksportir Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung melalui  serangkaian tahapan-tahapan pelatihan dan pendampingan tertentu, sehingga menghasilkan UKM yang unggul dan dapat bersaing di pasar global. Ini sesuai dengan  mandat kami sebagai Special Mission Vehicle Kementerian Keuangan untuk  menciptakan eksportir baru dan juga membawa slogan #LokalyangMendunia,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (11/4/2022).

Sebelum mengikuti pelatihan CPNE, Eni belum sepenuhnya mengutamakan nilai produknya. Namun setelah mengikuti program ini dan diberikan kesempatan oleh LPEI mengikuti pameran dengan skala internasional (Trade Expo Indonesia), akhirnya Wastraloka kembali berhasil menembus pasar Australia. 

Berawal dari kegemaran mengoleksi batik kuno atau lawas dan gemar akan pernak-pernik dekorasi rumah, maka Eni memiliki ide untuk mengaplikasikan motif batik di media selain kain. Alhasil terciptanya produk unik yaitu kaleng kerupuk dengan bermotifkan batik berhasil diekspor ke Belanda.

Dengan mengaplikasikan motif batik kuno pada produk seperti tumbler, kaleng kerupuk diharapkan dapat memberikan kesan dan pesona masa lalu namun tetap terdapat sentuhan modernnya. Selain itu, produk hasil dari Wastraloka juga dibuat langsung oleh pekerja seni lukis, ibu rumah tangga sampai anak muda yang memiliki minat dalam melukis,” ucap Eni.

Adapun proses pembuatan karya seni yang melibatkan masyarakat sekitarnya ini memberi kontribusi ekonomi secara langsung dan dapat menjaga kelestarian budaya Indonesia lewat kegiatan membatik yang wadahnya lebih bervariasi.

Eni mengawali bisnisnya dengan modal hanya Rp 5 juta. Saat ini, dia mampu mempekerjakan 37 orang, 17 diantaranya adalah pegawai in house sementara sisanya freelance yang tersebar empat klaster yang berlokasi di Yogyakarta, Bantul, Sleman dan Magelang, Jawa Tengah. Saat ini masing-masing cluster dapat menghasilkan 300 sampai 500 unit setiap harinya dengan harga jual sebesar Rp 290.000 sampai Rp 1.000.000. 

“Pada 2012 awalnya saya hanya berjualan secara online. Permintaan semakin meningkat dari tahun ke tahun yang akhirnya pada tahun 2014 pertama kalinya saya harus mengangkat karyawan karena skala bisnis yang semakin besar dan terbentuklah Wastraloka,” ucapnya.

“Kemudian pada 2015 saya mulai memberanikan diri untuk ikut dalam pameran individu di JCC Senayan, Jakarta dan mendapatkan penghargaan dari Majalah Femina. Lalu pada 2017 saya mulai mengembangkan Wastaloka secara profesional, dengan mengikuti pelatihan dari LPEI,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement