Sabtu 19 Mar 2022 14:50 WIB

YLKI: Konsumen Minyak Goreng Kemasan Bakal Beralih ke Curah 

Pemerintah bertekuk lutut terhadap pengusaha dalam persoalan minyak goreng.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ratna Puspita
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, konsumen minyak goreng kemasan bisa bermigrasi ke minyak goreng curah. Ilustrasi
Foto: dok. Republika
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, konsumen minyak goreng kemasan bisa bermigrasi ke minyak goreng curah. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, konsumen minyak goreng kemasan bisa bermigrasi ke minyak goreng curah. Hal itu lantaran disparitas harga antara curah dan kemasan terlalu lebar. 

"Dengan disparitas harga ini, saya khawatir akan membuat migrasi konsumen premium ke curah karena beda harga yang besar. Ini sangat wajar," kata Tulus dalam sebuah webinar, Sabtu (19/3/2022). 

Baca Juga

Harga minyak goreng curah dipatok pemerintah sebesar Rp 14 ribu per liter. Sementara, minyak goreng kemasan sederhana dan premium dilepas sesuai mekanisme pasar yang kini menyentuh hingga lebih dari Rp 24 ribu per liter. 

Tulus menilai, pemerintah bertekuk lutut terhadap pengusaha dalam upaya menuntaskan persoalan minyak goreng di tengah masyarakat. Sebab, berbagai kebijakan telah dilakukan tetapi gagal. 

"Masyarakat seperti menjadi kelinci percobaan, dari kebijakan a, kebijakan b, lalu ke c, dan klimaks akhirnya pemerintah gagal dan menyerah pada mekanisme pasar," kata Tulus. 

Mengutip data Kementerian Perdagangan (Kemendag) rata-rata kebutuhan minyak goreng nasional per bulan mencapai 327 ribu ton. Adapun, pangsa pasar minyak curah lebih tinggi ketimbang kemasan.

Berdasarkan catatan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), minyak curah berkontribusi hingga 65 persen dari total kebutuhan minyak goreng nasional dan sisanya 35 persen merupakan kemasan. Karena itu, konsumsi minyak goreng di Indonesia masih didominasi dalam bentuk curah.

Tulus mengatakan, melihat perkembangan isu minyak goreng saat ini, YLKI masih berpandangan bahwa kartel telah terjadi. Dari sebelum adanya kebijakan HET untuk seluruh jenis minyak goreng, harga masih tinggi meski barang ada. 

Ketika pemerintah mengaturnya, barang menjadi langka. Terakhir, setelah HET dicabut mesti khusus untuk kemasan, barang kembali membanjiri pasar. "Ini aneh. Barang ada tapi mahal, lalu murah tidak ada, ini pilihan pahit bagi konsumen. Jadi ini dugaan kartel atau mafia," ujarnya. 

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pakuan Bogor, Iman Hilman, mengatakan, terdapat sejumlah faktor penyebab tidak efektifnya kebijakan minyak goreng. Pertama, kegagalan pasar mengacu pada kondisi di mana mekanisme pasar tidak bekerja sehingga menciptakan ketidakefisienan di pasar.

Kedua, terjadi oligopoli pasar dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga. Ketiga, minyak goreng termasuk barang yang tidak diatur tata niaganya dan harganya.

"Dalam kondisi seperti ini, akan sulit menerapkan kebijakan pengaturan karena sulitnya pengawasan di lapangan," katanya. 

Faktor terakhir, yakni beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa penerapan HET tidak efektif pada komoditas yang memiliki rantai tata niaga yang pangan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement