Sabtu 05 Mar 2022 04:13 WIB

Beli Minyak Laksana Habis Nyoblos

Membeli minyak goreng sampai harus mencelupkan jari ke tinta, seperti saat pemilu.

Sejumlah warga menunggu giliran untuk membeli minyak goreng saat operasi pasar di Polsek Tebet, Jakarta, Jumat (4/3/2022). Polres Jakarta Selatan mengadakan operasi pasar minyak goreng yang dijual sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dengan kuota 300 orang per harinya dan maksimal pembelian sebanyak empat liter per orang. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah warga menunggu giliran untuk membeli minyak goreng saat operasi pasar di Polsek Tebet, Jakarta, Jumat (4/3/2022). Polres Jakarta Selatan mengadakan operasi pasar minyak goreng yang dijual sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dengan kuota 300 orang per harinya dan maksimal pembelian sebanyak empat liter per orang. Republika/Putra M. Akbar

Oleh : Andi Nur Aminah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Minyak goreng oh minyak goreng. Silih berganti keluhan warga tentang komoditas satu ini. Cerita seputar antrean, barang tak ada, lihat baru diturunin berkantong-kantong dari mobil di minimarket anu, sejam kemudian tau-tau sudah kosong saja.

Ada begitu banyak cerita. Beberapa hari lalu, kawan saya bercerita di medsos, ibunya baru pulang berbelanja dan salah satu isi tas belanjaannya adalah minyak goreng.

Sang ibu senyum-senyum, girang. Akhirnya terbeli juga itu minyak setelah mencari berhari-hari lamanya. Namun ada yang aneh. Jempol si ibu terlihat berwarna ungu karena bekas tinta stempel. "Ibu habis nyoblos di Pilkada?" tanya kawan saya. "Nggak, Pilkada apaan?" jawab sang ibu.

"Itu jempolnya kok pakai tinta?" tanya kawan saya lagi. "Iya nih, tadi beli minyak di supermarket, pas di kasir, jempol dicelupin ke tinta. Katanya, biar yang sudah beli ketahuan," jelas sang ibu.

Dialog yang ditulis itu cukup ramai menuai komentar. Komentar yang umumnya merasa kecewa, sedih, mengumpat pemerintah yang dinilai sangat tidak becus menangani persoalan minyak goreng ini.

Sampai segitunya untuk membeli minyak goreng saja harus diperlakukan seperti orang yang baru habis menyetorkan suara. Satu suara hanya untuk satu orang. Nah untuk minyak goreng, satu pouch minyak hanya untuk satu orang saja.

Seperti inilah faktanya dan terjadi di beberapa tempat. Salah satunya terjadi di Kota Bandung.

Harga minyak goreng pernah melonjak cukup drastis bahkan hingga menembus angka di atas Rp 40 ribu. Berhari-hari lamanya, minyak terpaksa dibeli dengan harga tinggi dan sangat membuat sesak napas ibu rumah tangga atau pedagang gorengan. Alhasil, penjual kue-kue atau gorengan harus menaikkan harga produknya, atau mengecilkan ukuran dagangannya.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) kemudian mengeluarkan aturan minyak goreng satu harga di angka Rp 14 ribu per liter. Lalu pada 31 Januari 2022, Kemendag mencabut program subsidi minyak goreng, sehingga kebijakan satu harga Rp 14 ribu per liter berakhir.

Sebagai gantinya, Kemendag menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter, minyak kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium Rp 14 ribu per liter. Aturan ini berlaku mulai 1 Februari 2022.

Namun apa yang terjadi, kebijakan HET itu berbuntut panjang. Di hari penetapan satu harga, banyak orang beraramai-ramai membeli minyak. Yang tadinya terbiasa berbelanja dua kg minyak saja, tiba-tiba membengkak bela-belain beli lima sampai enam kg.

Yang berdagang pun memanfaatkan kesempatan membeli minyak murah tadi. Ada yang mengerahkan karyawan atau anggota keluarganya, beberapa orang untuk membeli minyak goreng. Jika ada lima orang, setiap orang membeli dua pouch, sudah lumayan bisa dapat sepuluh pouch. 

Tapi ini tak berlangsung. Minyak goreng yang tadinya dijual dengan harga Rp 14 ribu, tiba-tiba sulit ditemukan. Di sejumlah minimarket, rak pajangan minyak rata-rata terlihat kosong melompong. Kemana perginya?

Kondisi ini membuat masyarakat dikecewakan. Percuma saja ada minyak harganya murah, namun saat akan membeli, barangnya tak ada, ya tak ada gunanya.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kemendag, Oke Nurwan, beberapa waktu lalu menjelaskan pangkal masalah kenaikan harga minyak goreng karena mahalnya harga bahan baku, yakni minyak sawit yang mengikuti tren harga pasar dunia.

Atas dasar itu, Kemendag mengambil kebijakan untuk menetapkan harga minyak sawit khusus dalam negeri lewat kebijakan domestic price obligation (DPO) minyak sawit. Harga yang ditetapkan sebesar Rp 9.300 per kg untuk minyak sawit (CPO) dan Rp 10.300 per liter untuk olein.

Dengan adanya kebijakan DPO, maka pemerintah pun dapat menetapkan HET minyak goreng. "Karena harga bahan baku minyak sawit sudah diturunkan melalui DPO, maka dalam hal ini pembayaran selisih harga dari harga keekonomian (subsidi) tidak lagi diperlukan," kata Oke.

Sebelumnya pemerintah menganggarkan subsidi sebesar Rp 7,6 triliun untuk 1,5 miliar liter minyak goreng selama enam bulan. Dana subsidi tersebut diambil dari dana kelolaaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Karenanya, Oke, mengatakan, mulai 1 Februari, seiring ditetapkannya HET dan telah diterapkannya DPO, BPDKS tidak lagi perlu menyiapkan dana untuk subsidi minyak goreng.

Tapi penjelasan pihak Kemendag soal harga dan adanya subsidi tersebut, seperti angin lalu saja. Apalagi faktanya, di lapangan ada saja oknum yang memanfaatkan harga minyak yang sudah 'dimurahkan' pemerintah dengan cara menimbunnya. Inilah negeri +62, yang selalu saja ada yang ingin mengambil keuntungan di tengah kegalauan warga berburu minyak goreng. Pembatasan pembelian yang mulai lebay rasanya, saat mendapatkan fakta, membeli minyak itu seperti harus menunjuk KTP lah, bahkan harus ditandai dengan tinta stempel, laksana habis nyoblos.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement