Senin 15 Nov 2021 06:23 WIB

Strategi Pengembangan Industri Halal pada Era Industri 4.0

Potensi industri halal Indonesia sangat tinggi dan memerlukan sumber daya besar

Industri Halal Indonesia: Kawasan industri halal. Ilustrasi
Foto: MCIE
Industri Halal Indonesia: Kawasan industri halal. Ilustrasi

Oleh : Prof A Harits Nu’man, Wakil Rektor Unisba

 

 

Era persaingan yang didasarkan pada kapasitas industri, untuk memberikan pelayanan terbaik berupa kualitas (quality), efektivitas waktu produksi dan jasa mulai dari pemasok sampai bisa dikonsumsi oleh konsumen (delivery), kemudahan mendapatkan pelayanan (service), efiesiensi sumberdaya (cost), dan kemampuan industri untuk mengikuti kebutuhan konsumen dan perubahan lingkungan (fleksibility), telah melahirkan industri 4.0 yang berfokus kepada peningkatan kinerja Industri berbasis teknologi.

Lahirnya industri 4.0 harus diimbangi oleh kemampuan manusia guna menciptakan nilai baru dan menyelesaikan masalah pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan teknologi informasi dan peralatan terotomatisasi berbasis machine learning dan artificial intelligence (Schwab, 2016).

Pemerintah Indonesia menyiapkan rancangan strategi nasional pengembangan industri yang didasarkan kepada 3 hal yaitu; 1) Membangun struktur industri nasional yang kuat, dalam, sehat dan berkeadilan; 2) Membangun industri yang memiliki daya saing tinggi di tingkat global dan 3) Membangun Industri yang berbasis inovasi dan teknologi (Kemenprin, 2015).

Inovasi merupakan kata kunci dari pengambangan Industri yang memiliki daya saing di Indonesia, yang harus ditunjang oleh tiga unsur yaitu: 1) Kebijakan Pemerintah, 2) Keterlibatan Masyarakat Industri secara berkesinmabungan, serta 3) Riset Perguruan Tinggi berbasis industri.

Indonesia mempunyai potensi sangat besar dalam menangkap peluang industri halal, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Di tengah menurunnya kemampuan daya saing Indonesia pada tiga sektor penting, yaitu pemerintahan, bisnis dan industri, serta sumberdaya manusia, terbetik angin segar dari sudut pandang Industri halal, di mana The State of Global Islamic Economy (SGIE) Report 2020/2021, mencatat Indonesia berhasil naik ke peringkat 4 dari peringkat 5 pada tahun 2019 dan peringkat 10 dari tahun sebelumnya dari 81 negara yang dinilai (Dinar Standard, 2020).

Pemeringkatan dilihat dari sektor ekonomi riil meliputi finance, food, travel, fashion, media and recreation, pharmaceutical dan cosmetics, di mana melibatkan 75% Industri kecil dan Mengengah (IKM). Kenaikan peringkat ini harus dimaknai sebagai kokohnya ekosistem ekonomi Islam Indonesia. 

Memperhatikan kondisi tersebut penting Indonesia mulai mengalihkan pembangunan infrastruktur industri yang besar kepada IKM (Dinar Standard, 2020), yang berbasis society knowledge dan technology knowledge (Schwab, 2016) pada ekosistem ekonomi Islam di Tanah Air, sehingga menjadikan Indonesia sebagai produsen halal dunia dan penggerak ekonomi nasional.

Indonesia mempunyai potensi sangat besar dalam menangkap peluang industri halal, baik di tingkat nasional, regional, maupun global. Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar, yakni mencapai 209,1 juta jiwa atau 87,2 persen dari total penduduk Indonesia (Mubarok & Imam, 2020). Makna halal dalam Islam memperkuat penjelasan tentang industri halal dengan konsep produksi hasil industri yang harus sesuai dengan hukum syariah.

Berdasarkan konsep syariah, apapun yang dikonsumsi oleh muslim, baik makanan maupun nonmakanan harus berasal dari sumber yang halal. Allah berfirman:

َّ“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. al-Baqarah [2]: 168)

Konteks halal bukan hanya terbatas pada konsumsi, namun juga seluruh proses produksi dan layanan, yang terhubung dalam rantai pasokan. Industri halal harus mencakup semua lini kegiatan operasi, baik pengemasan, pemasaran, manufaktur, logistik, pasokan, pemeliharaan, penyembelihan, dan beragam kegiatan mulai dari hulu hingga hilir.

Pemerintah Indonesia pada saat ini harus memberikan penekanan yang kuat pada pengembangan Industri halal beserta berbagai aspeknya guna memperkuat ekonomi nasional, dengan visi menjadi negara rujukan industri halal didasarkan pada inovasi berkelanjutan berdasar pada knowledge based, resource based, dan culture based development.

Peran Perguruan Tinggi sebagai mesin penghasil sumberdaya (engine produce of resource) yang inovatif dipertajam dengan akselerasi kegiatan pembelajaran yang berbasis industrial research yang di kenal dengan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM).

Program MBKM mendorong perguruan tinggi beranjak dari teaching university ke research university dan berakhir pada tingkat yang paling tinggi yaitu entreupreuneur university.

Universitas Islam Bandung (UNISBA) sebagai salah satu Perguruan Tinggi Islam menyambut era Industri 4.0 yang berfokus pada global halal Industri, dengan mengembangkan research berbasis MBKM, pada produk-produk halal yang dihasilkan oleh Industri Kecil Menengah supaya memiliki keunikan (mujahid), keunggulan (mujaddid), dan memberikan kenyamanan pemakaian (mujtahid).

UNISBA perlu melakukan akselerasi program MBKM  yang mengubah jati diri dari teaching university menjadi research university, berfokus padaindustri halal yang didasarkan kepada upaya untuk menghasilkan sarjana yang memiliki ciri society with resource based (mujahid) society with technology based (mujaddid) , dan society knowledge (mujtahid).

Fokus pengembangan pada UNISBA Sebagai Perguruan Tinggi Islam harus memperhatikan tahapan Mikroscience, Mesoscience, dan Makroscience, guna membangun perguruan tinggi Islam yang menjadi rujukan pengelolaan sistem dan proses industri halal.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement