Rabu 02 Jun 2021 21:07 WIB

COP26 Dorong Negara Maju Bantu Negara Miskin 

Urgensi yang sama terhadap Covid-19 perlu diterapkan pada isu perubahan iklim.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Fuji Pratiwi
COP26. COP26 mendorong negara maju memberi bantuan kepada negara berkembang dan negara miskin dalam menangani perubahan iklim.
Foto: ukcop26.org
COP26. COP26 mendorong negara maju memberi bantuan kepada negara berkembang dan negara miskin dalam menangani perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP26) akan mendorong negara-negara maju untuk membantu pendanaan negara-negara miskin dan berkembang dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

Menurut Ketua Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP26) Alok Sharma, semua negara telah menyadari besarnya dampak dari perubahan iklim, apalagi diperkirakan dampaknya bisa mencapai 20 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) global.

Baca Juga

"Kita perlu menerapkan urgensi yang sama dalam mengatasi perubahan iklim yang telah kita terapkan pada Covid-19. Itu juga berarti memastikan negara-negara donor melangkah maju dalam membantu keuangan negara-negara berkembang," kata Alok Sharma dalam diskusi dengan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Rabu (2/6).

Menurut Sharma, dalam beberapa tahun terakhir, telah tampak banyak perubahan di mana pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil lebih peduli terhadap dampak perubahan iklim. Apalagi, biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi perubahan iklim tidak lebih besar dibandingkan dampaknya yang mencapai 20 persen dari PDB global.

COP26 yang akan diselenggarakan pada November mendatang di Glasgow, Inggris, akan mendorong komitmen negara-negara donor dan maju untuk memenuhi janji mendukung ekonomi berkembang hingga 100 miliar dolar AS. Bank Dunia adalah salah satu pihak yang menyatakan akan menyelaraskan pinjaman keuangan mereka dengan Perjanjian Paris.

Forum ini nantinya juga akan membahas keterlibatan sektor swasta dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Menurut Sharma, ada banyak uang yang ingin diinvestasikan oleh sektor swasta, tetapi mereka perlu memastikan ketika suatu negara menetapkan kebijakan mereka, kebijakan tersebut bersifat jangka panjang.  

"Mereka perlu memiliki keyakinan terhadap kebijakan jangka panjang, dan dapat melihat semacam pengembalian atas investasi yang mereka lakukan." ujar Sharma.

Mengenai transisi ke ekonomi ramah lingkungan, menurutnya hal ini dapat dilakukan, mengingat keadaan saat ini tidak memungkinkan untuk memilih antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Ia mencontohkan upaya Inggris untuk mengurangi emisi karbonnya dengan mengubah industri pembangkit listrik dari tenaga batu bara ke kincir angin (wind farm) lepas pantai. Saat ini wind farm Inggris merupakan pembangkit listrik tenaga angin terbesar di dunia.

Transisi yang adil, kata Sharma, dapat memastikan orang-orang yang pekerjaannya akan dipindahkan bisa mendapatkan pekerjaan baru.

"Orang-orang menginginkan lingkungan yang lebih bersih. Di sisi lain, mereka ingin memastikan bahwa anak-anak mereka memiliki pekerjaan yang baik untuk masa depan," kata Sharma.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement