Sabtu 29 May 2021 06:12 WIB

Drama Olimpiade Tokyo Berlanjut

Jepang sedang berjuang melawan lonjakan kasus covid-19

Patung Miraitowa, center, dan Someity yang diresmikan, maskot resmi untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020. Pelaksanaan Olimpiade Tokyo masih menuai perdebatan.
Foto: EPA-EFE/Eugene Hoshiko
Patung Miraitowa, center, dan Someity yang diresmikan, maskot resmi untuk Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020. Pelaksanaan Olimpiade Tokyo masih menuai perdebatan.

Oleh : Agung Sasongko, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Atlet, Komite Olimpiade Internasional (IOC), sponsor, Amerika Serikat, dan pihak terkait dengan Olimpiade Tokyo layak cemas bila melihat perkembangan kasus covid di Jepang. Dengan waktu kurang dari tiga bulan sebelum Olimpiade dimulai pada 23 Juli, Jepang sedang berjuang melawan lonjakan kasus Covid-19.

Data terakhir  mencatat 700 ribu kasus infeksi dan sekitar 12 ribu kasus kematian terkait virus korona di Jepang. Dilaporkan Reuters, keadaan darurat telah diberlakukan di sebagian besar Jepang hingga akhir bulan untuk mengatasi lonjakan kasus, yang mengakibatkan kekurangan staf medis dan kamar pasien di beberapa daerah.

Di sisi lain, program vaksinasi Jepang juga sangat lambat yakni hanya 40 persen dari populasi yang diinokulasi, tingkat terendah di antara negara-negara Grup 7 (G7).  Efeknya mayoritas penduduknya menginginkan Olimpiade dibatalkan atau ditunda untuk kedua kalinya.

Reuters dalam laporannya mengungkap, sebuah survei yang dilakukan pada 7-9 Mei oleh harian Yomiuri Shimbun menunjukkan 59 persen responden menginginkan Olimpiade dibatalkan, sementara 39 persen mendukung Olimpiade diadakan.

Survei lain yang dilakukan pada akhir pekan oleh TBS News menunjukkan bahwa 65 persen menginginkan Olimpiade dibatalkan atau ditunda lagi. Lebih dari 300.000 orang telah menandatangani petisi untuk membatalkan Olimpiade sejak diluncurkan sekitar lima hari lalu.

Sementara, survei lain yang dirilis Reuters menyebut, hampir 70 persen perusahaan Jepang ingin Olimpiade Tokyo dibatalkan atau ditunda.  Survei perusahaan, yang dilakukan 6-17 Mei, menunjukkan 37 persen perusahaan mendukung pembatalan, sementara 32 persen menginginkan penundaan.

Sementara, jumlah mereka yang menyerukan pembatalan telah meningkat mulai Februari ketika pertanyaan yang sama ditanyakan dalam survei bulanan, saat 29 persen menginginkan pembatalan sementara 36 persen memilih penundaan.

Wajar pada akhirnya, IOC berkomentar sangat hati-hati dengan apa yang terjadi di Tokyo.  IOC memilih lebih banyak mendukung ketimbang mengumbar kecemasan soal nasib Olimpiade. Bahkan Presiden IOC Thomas Bach pada akhirnya menunda kunjungan ke Jepang pada Mei. Ini sinyal keras, bahwa IOC tak bisa sembarang melangkah apalagi berkomentar.

Menariknya, belum lama ini, AS mengeluarkan travel warning agar warganya tidak mengunjungi Jepang. Meski tidak menyebut secara khusus soal olimpiade, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS  mengeluarkan kebijakan bahwa wisatawan harus menghindari semua bentuk perjalanan ke Jepang lantaran situasi Covid-19 di sana yang makin memburuk.

Tak berselang lama, Tokyo segera meyakinkan AS di tengah kekhawatiran atas virus corona menjelang Olimpiade Tokyo. Gedung Putih pun mengklaim terus menerima informasi terkait perkembangan terakhir di Jepang.

Situasi olimpiade jelas kontras dengan pelaksanaan Euro 2020 yang dapat dipastikan bakal digelar tahun ini. Formatnya tanpa penonton namun berlangsung tidak dalam satu negara melainkan melibatkan 11 kota. Bedanya meski sama-sama menghadapi pandemi, penanganan kompetisi domestik di masing-masing negara memastikan pelaksanaan Piala Eropa 2020 yang sempat ditunda.

Bila dibandingkan dengan olimpiade jelas tidak sama. Namun, drama pelaksanaan olimpiade ini seolah tak pernah berakhir. Ada saja yang terjadi, mulai dari skandal yang mengakibatkan Ketua Olimpiade Jepang mundur, lantaran komentarnya yang seksis, hingga terkini lonjakan kasus covid di Jepang yang mendorong AS mengeluarkan travel warning.

Dari sisi kesiapan, jelas Jepang memiliki waktu yang cukup. Sejarah sudah membuktikan kemampuan Negeri Sakura menggelar event meski dalam kondisi terpuruk.  WHO menyatakan sudah mendukung dengan catatan protokol kesehatan dijalankan secara ketat. China, rival jepang di kawasan, juga menyatakan dukungannya. AS dan Eropa yang merupakan sekutu Jepang juga melakukan hal yang sama.

Apakah olimpiade ini sudah tak lagi menarik sehingga butuh bumbu drama agar terlihat lebih greget. Jadi, butuh berapa episode lagi untuk drama olimpiade?Tunggu saja.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement