Jumat 23 Apr 2021 13:53 WIB

Aroma Memisahkan Agama dari Pendidikan

Ada kesan jika centang perenang arah pendidikan tersebut sudah diskenariokan.

Kartun Mencari Pancasila
Foto: republika/daan yahya
Kartun Mencari Pancasila

Oleh : Tamsil Linrung, Senator DPD RI - Komite III Membidangi Sektor Pendidikan

REPUBLIKA.CO.ID, Hilangnya jejak tokoh pendiri Nahdlatul Ulama Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang beredar luas di berbagai platform digital, memperpanjang daftar kegaduhan yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, kita dikagetkan dengan kata “agama” yang raib dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Hal itu mencuat ke publik setelah Muhammadiyah secara kelembagaan melontarkan kritik pada bulan Maret yang lalu.

Cuma berselang beberapa hari, kegaduhan baru muncul. Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan juga memicu kontroversi. PP yang diteken Presiden itu menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia dalam Standar Nasional Pendidikan.

Rasanya agak sulit diterima akal sehat jika rentetan kontroversi yang menyentuh hal-hal sensitif itu terjadi di luar kesengajaan. Sebaliknya, ada kesan jika centang perenang arah pendidikan tersebut sudah diskenariokan. Tidak bisa dibayangkan, apa jadinya jika persoalan itu luput dari perhatian publik!

Tiga kegaduhan Kemendikbud, bertautan sangat erat. Terkait dengan langgam pendidikan, yang entah akan digiring ke arah mana. Yang pasti, publik menangkap aroma menyengat bila pendidikan hendak dipisahkan dari agama, dijauhkan dari Pancasila serta berpotensi menciptakan distrosi sejarah.

Terasa ganjil dan janggal. Mana mungkin lembaga yang dipimpin dan dikelola oleh orang-orang terdidik dan mengampu soal pendidikan jutaan rakyat, kok bisa kebobolan. Apalagi tiga kontroversi itu menyangkut persoalan yang sangat mendasar. Sehingga tidak logis jika dikatakan semata kesalahan redaksional.

Alasan ketidaksengajaan yang dikemukakan oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbud soal hilangnya jejak Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I yang terbit sejak tahun 2017, juga terkesan mengada-ada. Pasalnya, ada puluhan nama yang masuk sebagai tim dalam penerbitan buku tersebut. Sementara di buku yang sama, profil tokoh-tokoh Komunis seperti Henk Sneevliet, Darsono, Semaoen, hingga DN Aidit diberi ruang.

Produk kebijakan pendidikan tidak boleh diberi celah menghianati dan melenceng dari falsafah pendidikan yang secara jelas dituangkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang juga sekaligus menjadi cita-cita kemerdekaan. Lalu dijabarkan pada Pasal 31 ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Dilanjutkan di Pasal 31 ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Secara hierarkis, kebijakan pendidikan pun harus patuh, tegak lurus tunduk pada aturan di atasnya. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 memuat secara eksplisit  arah pendidikan nasional. Tertuang di Pasal 3 : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dari pijakan konstitusional itu, amat terang benderang bahwa agama adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional Indonesia. Agama merupakan ruh sistem pendidikan nasional Indonesia. Mengeliminasi ruh pendidikan itu, berarti menciptakan mayat hidup. Hanya akan melahirkan manusia-manusia yang tak ubahnya robot.

Terdidik secara akademis, namun miskin karakter. Manusia yang dididik tanpa ruh, nuraninya tumpul. Mungkin memang menyandang predikat Profesor atau bergelar Doktor, namun rentan terjebak pada korupsi dan berbagai pelanggaran hukum. Fenomena tersebut sudah terjadi di tengah-tengah kehidupan bangsa.

Sistem pendidikan tanpa ruh yang menafikan agama, ujung-ujungnya hanya menempatkan manusia sekadar sebagai sekrup kapitalisme. Padahal, tujuan pendidikan tidak sedangkal menciptakan manusia kelas pekerja. Namun melahirkan insan yang bermanfaat, punya watak, dan bermanfaat bagi peradaban yang tidak selalu bisa diukur dengan parameter materi.

Penghapusan mata pelajaran dan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia seiring terbitnya PP No. 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, juga semakin memperkeruh arah pendidikan yang hendak dibangun oleh pemerintah.

Padahal, selain agama, Pancasila adalah sumber nilai moralitas serta basis pendidikan kewarganegaraan. Pancasila dan bahasa Indonesia merupakan ikatan yang mengintegrasikan kita sebagai bangsa majemuk.

Pancasila, dan bahasa Indonesia mengekpresikan bahwa kita merupakan satu ikatan bangsa (nation). Artinya, tanpa kedua hal tersebut, kebijakan pendidikan tidak layak diadopsi sebagai sistem pendidikan nasional. Muatannya jadi absurd bersamaan dengan hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia.

Menghilangkan pendidikan Pancasila dan bahasa Indonesia, sama saja menggiring bangsa kehilangan jati diri. Bencana besar jika satu bangsa ditimpa krisis identitas. Ini amat berbahaya.

Di tengah percaturan global, kita justru dituntut mengokohkan identitas sebagai satu keunggulan komparatif. Cara kita memandang masa depan dan meramu relevansi formula sistem pendidikan, tidak berarti harus menanggalkan identitas yang justru menjadi ciri khas dan jati diri bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement